Ada masa ketika kita berpikir semua masalah finansial di usia 20-an datang karena “kurang pintar ngatur uang” atau “terlalu impulsif belanja.” Tapi kalau ditarik lebih dalam, banyak kebiasaan finansial buruk justru tumbuh dari cara kita dibesarkan.
Bukan salah orang tua sepenuhnya, karena mereka pun mungkin bertahan dengan cara yang mereka tahu di masanya. Namun, memahami akar dari perilaku keuangan bisa membantu kita berdamai dengan masa lalu, dan memperbaiki hubungan dengan uang di masa kini.
1. Uang = Kasih Sayang
Banyak dari kita tumbuh dalam keluarga yang jarang mengungkapkan kasih sayang secara verbal. Sebagai gantinya, cinta ditunjukkan lewat pemberian: jajan, hadiah, atau dibelikan sesuatu. Akibatnya, kita belajar bahwa “uang bisa menggantikan perhatian.”
Di usia dewasa, ini bisa muncul dalam bentuk self-reward berlebihan, belanja untuk menghibur diri setelah hari buruk, atau memberi hadiah ke pasangan dan teman agar merasa diterima. Padahal, kebahagiaan yang dibeli biasanya cepat habis, meninggalkan dompet kosong dan rasa bersalah dan ujung-ujungnya kami akan bergantung pada pinjaman online untuk menutup kebutuhan. Ujung-ujungnya kamu memenjarakan diri kamu pada kewajiban bayar cicilan, entah sampai kapan.

2. Takut Bicara Soal Uang
Ada pula yang tumbuh di rumah di mana uang selalu jadi sumber konflik. Orang tua bertengkar karena keuangan, atau menutupi masalah finansial dari anak. Lama-lama, kita belajar bahwa uang itu hal tabu.
Ketika dewasa, kita jadi canggung bicara soal gaji, takut minta kenaikan, atau tidak berani terbuka soal utang. Padahal, keterbukaan finansial justru kunci agar kita bisa tumbuh lebih sehat secara ekonomi dan emosional.
3. Pola “Hemat Berlebihan” yang Lahir dari Rasa Takut
Kalimat seperti “jangan boros” atau “uang itu susah dicari” mungkin terdengar biasa, tapi bisa membentuk pola pikir scarcity, rasa takut kehilangan uang yang berlebihan. Akibatnya, banyak yang tumbuh jadi orang dewasa yang sulit menikmati hasil kerja sendiri.
Kita menahan diri terus, takut jajan, takut traveling, takut investasi. Tapi ironisnya, hidup terasa sempit dan penuh kecemasan. Padahal, keseimbangan antara menabung dan menikmati hidup juga bagian dari kesehatan mental.
4. Selalu Diselamatkan dari Konsekuensi
Ada juga tipe orang tua yang terlalu protektif, selalu turun tangan setiap kali anak kesulitan. Misalnya, melunasi kartu kredit, membayar cicilan, atau menanggung semua kebutuhan meski anak sudah dewasa.
Dampaknya, kita tidak pernah belajar menghadapi konsekuensi finansial sendiri. Begitu hidup menuntut kemandirian, kita mudah panik dan bingung mengatur prioritas.
5. Tidak Diajarkan Nilai Uang, Hanya Angkanya
Sebagian dari kita tahu nominal, tapi tidak tahu maknanya. Kita tahu harga sepatu atau kopi favorit, tapi tidak tahu bagaimana uang itu dihasilkan, atau seberapa besar tenaga di baliknya.
Karena itu, pengeluaran terasa abstrak. Kita bisa dengan mudah menghabiskan gaji untuk hal-hal instan, lalu stres saat saldo menipis.
Meneruskan, Bukan Mengulang
Pola asuh tidak bisa diubah, tapi pola pikir bisa. Menyadari bahwa kesalahan finansial bukan karena kita bodoh, melainkan karena belum pernah diajarkan dengan sehat, adalah langkah pertama untuk sembuh.
Mulailah dengan refleksi: apa yang dulu kita pelajari tentang uang? Apakah itu masih relevan? Dari sana, pelan-pelan kita bisa membangun ulang hubungan yang lebih sehat dengan uang, bukan sebagai sumber stres, tapi sebagai alat untuk hidup dengan lebih tenang dan berdaya. Jangan mengulang pola pikir yang jelas-jelas sudah tidak berhasil dan relevan lagi.
In the end, memperbaiki keuangan bukan sekadar soal angka. Tapi juga soal berdamai dengan cerita lama dan memberi diri sendiri kesempatan untuk menulis ulang yang baru.


