Oversharenting, Wabah Digital yang Menjangkiti Orang Tua Zaman Now

parenting

Berbagi momen tumbuh kembang anak di media sosial memang terasa menyenangkan. Namun tanpa disadari, kebiasaan ini bisa menimbulkan dampak serius terhadap privasi dan kesehatan mental anak di masa depan.

Di era digital, banyak orang tua yang gemar membagikan foto atau video anak mereka di media sosial, mulai dari momen lucu, ulang tahun, hingga pencapaian kecil sehari-hari. Fenomena ini disebut oversharenting, gabungan dari kata oversharing dan parenting yakni kebiasaan orang tua mengunggah terlalu banyak informasi pribadi anak di dunia maya.

Meski terlihat wajar dan bahkan penuh kasih sayang, oversharenting sejatinya menyimpan sejumlah risiko yang perlu diwaspadai, terutama terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak.

1. Privasi Anak yang Terabaikan

Anak-anak belum bisa memahami atau memberikan persetujuan atas apa yang dibagikan tentang diri mereka di internet. Saat foto atau video mereka tersebar luas, identitas pribadi anak bisa terekspos tanpa kendali.
Dalam jangka panjang, ini dapat menimbulkan risiko pencurian data, perundungan daring (cyberbullying), hingga potensi eksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Menurut beberapa pakar psikologi anak, anak yang privasinya kerap dilanggar sejak dini cenderung tumbuh dengan rasa tidak aman dan kesulitan membangun batas personal yang sehat di kemudian hari.

anak
Pencurian data dan cyberbullying bisa menjadi risiko besar dari oversharenting (Foto: Pexels)

2. Dampak Psikologis: Anak Bisa Merasa Diawasi

Ketika anak sadar bahwa kehidupannya sering dibagikan ke publik, mereka mungkin merasa harus selalu tampil sempurna.
Kondisi ini bisa menciptakan tekanan psikologis, anak belajar bahwa nilai dirinya diukur dari validasi orang lain di media sosial. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu kecemasan sosial, rendah diri, atau kebutuhan berlebihan akan pengakuan.

Selain itu, anak juga dapat merasa kehilangan kendali atas citra dirinya. Mereka mungkin tidak nyaman mengetahui masa kecilnya menjadi konsumsi publik tanpa sepengetahuannya.

3. Risiko Hubungan Orang Tua dan Anak yang Terganggu

Membagikan momen anak seharusnya dilakukan dengan pertimbangan etis. Jika anak merasa bahwa orang tuanya lebih mementingkan “konten” daripada kenyamanan mereka, kepercayaan bisa terganggu.
Rasa malu atau marah terhadap unggahan tertentu dapat muncul, terutama saat anak tumbuh dan mulai sadar akan eksistensi digitalnya. Hubungan yang seharusnya hangat bisa menjadi renggang karena perasaan tidak dihormati.


4. Membangun Kesadaran Digital di Lingkungan Keluarga

Alih-alih melarang total, orang tua dapat menerapkan batas sehat dalam berbagi. Misalnya:

  • Tidak mengunggah foto anak dalam kondisi rentan (mandi, menangis, berpakaian minim).
  • Menghindari membagikan detail pribadi seperti lokasi sekolah, tanggal lahir, atau nama lengkap.
  • Mempertimbangkan untuk meminta izin anak terlebih dahulu, terutama jika mereka sudah cukup besar untuk memahami.
  • Menyimpan momen berharga secara pribadi, melalui album digital tertutup atau media penyimpanan pribadi.

Mendidik diri sendiri tentang literasi digital sama pentingnya dengan mendidik anak tentang etika online. Dengan begitu, anak tumbuh di lingkungan yang aman, penuh kasih, dan menghormati privasi.

Menjadi orang tua di era digital memang penuh tantangan. Namun cinta bukan diukur dari seberapa banyak momen anak yang kita bagikan, melainkan dari seberapa kita melindungi mereka, termasuk di dunia maya.
Menjaga privasi anak berarti memberi mereka ruang untuk tumbuh, berekspresi, dan menemukan jati diri tanpa bayang-bayang eksposur publik sejak dini.