Ketimpangan sektor kesehatan Indonesia masih menjadi masalah besar yang sulit diatasi. Dari distribusi tenaga medis, fasilitas kesehatan yang terbatas, hingga penyalahgunaan obat-obatan, semuanya menjadi tantangan yang mempengaruhi masyarakat luas, terutama di daerah-daerah terpencil. Lantas, bagaimana caranya agar solusi yang lebih merata dan berkelanjutan dapat terwujud?
Dalam sebuah siniar kesehatan, Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) apt. Nofendri Roestam, S.Si., membeberkan data yang cukup mencengangkan. “60 persen apoteker terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara sisanya tersebar di seluruh Indonesia. Pola yang sama terlihat di tingkat provinsi—mayoritas apoteker praktik di ibu kota,” ungkapnya. Indonesia kini memiliki lebih dari 106.000 apoteker, namun distribusi yang tak merata menghambat akses layanan kesehatan di banyak daerah.
Setiap tahun, sekitar 12.000 apoteker baru lulus dari 70 perguruan tinggi farmasi di Indonesia. Namun, tanpa adanya insentif bagi mereka untuk bertugas di daerah terpencil, pemerataan tenaga medis menjadi masalah besar. “Harapannya apoteker tidak hanya praktik di kota besar, tetapi juga menjangkau daerah yang membutuhkan,” tambah Nofendri.
Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan, swamedikasi—pengobatan mandiri untuk masalah kesehatan ringan—muncul sebagai alternatif penting. Dokter Muhammad Fajri Adda’i, seorang residen kardiologi dan dokter influencer, menjelaskan, “Swamedikasi memungkinkan masyarakat mengatasi gejala ringan sekaligus mengurangi beban fasilitas kesehatan.” Namun, ia menekankan pentingnya edukasi dalam penerapannya. Pembelian obat tanpa resep harus dilakukan sesuai aturan dosis, karena penggunaan berlebihan dapat berakibat buruk bagi organ dalam.
Namun, masalah baru muncul: penyalahgunaan obat. Di beberapa daerah, obat-obatan yang pasokannya terbatas malah dicampur dengan minuman keras untuk menambah efek memabukkan. Hal ini tentu merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan obat untuk swamedikasi. Psikolog Klinis Anak dan Keluarga, Irma Gustiana Andriyani, S.Psi., M.Psi., menyoroti remaja sebagai kelompok paling rentan. “Otak remaja belum sepenuhnya berkembang, sehingga mereka sering bertindak impulsif,” jelas Irma. Kurangnya edukasi tentang hidup sehat di keluarga, sekolah, dan masyarakat memperburuk masalah ini.
Nofendri Roestam menilai penegakan hukum melalui razia terhadap apotek tidak tepat sasaran. “Apotek dan toko obat beroperasi sesuai regulasi yang diawasi oleh dinas kesehatan dan balai POM. Jika ada pelanggaran, yang harus menindak adalah mereka, bukan dengan razia yang malah menyasar apotek,” ujarnya. Menurutnya, peredaran obat yang disalahgunakan biasanya tidak berasal dari distributor resmi, melainkan pengedar obat ilegal.
Ketiga pembicara sepakat bahwa solusi komprehensif diperlukan untuk menghadapi tantangan ini. Ini meliputi edukasi masyarakat tentang swamedikasi yang aman, percepatan izin apotek untuk mempermudah akses di seluruh Indonesia, serta pemerataan infrastruktur kesehatan, termasuk tenaga medis dan fasilitas kefarmasian. Semua pihak, dari masyarakat hingga pemerintah, harus terlibat untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.
“Harapannya, solusi yang diberikan dapat bersifat berkelanjutan. Optimalisasi peran Puskesmas bisa menjadi jalan keluar. Dengan pendekatan kolaboratif, kita bisa membangun sistem kesehatan yang merata, aman, dan berkelanjutan untuk seluruh masyarakat,” tutup Nofendri.