Jadi Silent Reader di Group WhatsApp, Normal atau Tanda Beban Mental?

Di tengah derasnya pesan masuk di grup WhatsApp, memilih diam sering terlihat sederhana. Padahal keputusan itu bisa membawa banyak cerita soal kondisi mental seseorang.

Di banyak grup WhatsApp, ada satu peran yang hampir selalu muncul: silent reader. Mereka yang membaca, memperhatikan, kadang tertawa sendiri, tapi jarang atau bahkan tidak pernah mengetik satu kata pun. Fenomena ini sering dianggap lucu, kadang disindir, bahkan dijadikan bahan bercanda. Namun di balik diamnya seseorang di ruang digital, ada aspek kesehatan mental dan gaya hidup yang menarik untuk dibahas.

Sponsored Links

Diam Bukan Berarti Tidak Peduli

Banyak orang memilih diam bukan karena tidak peduli, tetapi karena ingin menghemat energi mental. Grup WhatsApp kini bisa berfungsi seperti ruang publik kecil, penuh opini, obrolan cepat, update panjang, hingga drama kecil yang kadang melelahkan.

Menjadi silent reader bisa menjadi bentuk perlindungan diri. Sebuah mekanisme untuk menjaga batasan emosional. Dalam dunia digital yang serba cepat, kemampuan memilih kapan harus menanggapi sesuatu justru menjadi tanda pengelolaan energi yang sehat.

Overstimulasi dari berbagai platform sosial membuat otak sering berada dalam mode siaga. Notifikasi yang tidak berhenti, pesan panjang, dan ekspektasi untuk membalas dengan cepat dapat menimbulkan kelelahan mental.

Bagi sebagian orang, tidak ikut berkomentar adalah cara untuk tetap terhubung tanpa harus terseret dalam arus percakapan yang menguras tenaga.

Ekspektasi Sosial yang Diam-diam Menekan

Meski terlihat sepele, tekanan sosial di grup WhatsApp cukup nyata. Ada norma tidak tertulis yang mengharuskan orang aktif agar dianggap “engage”. Ketika seseorang jarang muncul, ia bisa disindir sedang “menjauh”, “sok sibuk”, atau “anti-sosial”.

gadget
Ada norma tidak tertulis yang seolah mewajibkan orang untuk aktif dalam group WhatsApp (Foto: Pexels)

Padahal, tidak semua orang nyaman berada dalam percakapan ramai, dan tidak semua obrolan membutuhkan kontribusi dari semua anggota. Menghormati preferensi komunikasi setiap orang adalah bagian dari kesehatan relasi di era digital.

Saat Silent Reading Menjadi Sinyal Bahaya

Walau bisa menjadi cara menjaga kewarasan, perlu juga waspada ketika diam muncul dari rasa cemas, takut salah, atau merasa tidak cukup baik untuk berbicara. Perasaan minder, takut ditolak, atau cemas berlebihan terhadap penilaian orang lain bisa membuat seseorang menjauh secara perlahan dari interaksi sosial, bahkan di ruang digital yang sebenarnya aman.

Jika diam mulai muncul bersamaan dengan penurunan mood, hilangnya minat berbicara, atau menarik diri dari banyak hal lain, mungkin ada sesuatu yang perlu dibicarakan dan ditangani.

Menjaga Kesehatan Mental dengan Bijak di Grup Chat

  • Atur batasan digital. Tidak semua pesan perlu dibalas. Tidak semua percakapan perlu diikuti.
  • Gunakan fitur mute tanpa rasa bersalah. Ini bukan sikap anti-sosial, tapi bentuk pengelolaan energi.
  • Kenali pemicumu. Jika ada topik atau dinamika yang membuat tidak nyaman, beri jarak.
  • Tetap jujur pada diri sendiri. Apakah diam karena butuh ruang? Atau karena merasa tidak pantas bicara?
  • Cari ruang aman di luar grup. Teman dekat, journaling, atau konselor bisa menjadi tempat yang lebih tepat untuk bercerita.

Menjadi silent reader bukanlah hal memalukan atau tanda kurang ikut serta. Ini bisa menjadi bentuk self-care digital. Namun, seperti banyak hal dalam hidup, keseimbangannya yang penting. Pilih kapan perlu terlibat, kapan perlu istirahat, dan kapan perlu mencari bantuan jika diam terasa bukan lagi pilihan, tapi beban.