Baru-baru ini fenomena quiet quitting jadi perhatian baru di dunia kerja. Diklaim lebih efektif dan lebih sehat juga buat karyawan, apa saja sebetulnya dampak dari fenomena ini khususnya buat kesehatan karyawan?
Quiet quitting akhir-akhir ini menyita banyak perdebatan, khususnya di kalangan generasi Z yang baru memasuki dunia kerja. Fenomena ini sendiri sebetulnya sudah mulai terlihat pada 2021 lalu dimana orang mulai sadar akan work life balance yang selama ini ternyata kacau-balau akibat terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat kerja dan kehabisan waktu untuk diri sendiri. Akibatnya adalah stres dan merasa hidup tidak bernilai.
Apa itu Quiet Quitting?
Di tengah gaya hidup sibuk yang serba buru-buru dan cepat, quiet quitting menjadi pembatas yang tegas dimana karyawan juga berhak melanjutkan hidupnya sebagai sebuah individu yang utuh. Quiet quitting sendiri maksudnya adalah istilah untuk orang yang melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik, lebih sehat dan bisa bekerja lebih efektif.
Sederhananya, quiet quitting adalah sikap menolak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi kewajibannya atau pekerjaan ekstra. Cukup kerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dan meminimalkan tanggung jawab. Misalnya, menolak penggunaan barang pribadi untuk keperluan kantor, seperti mobil pribadi diminta untuk mengangkut barang-barang kantor atau kamera pribadi digunakan untuk keperluan kantor.
Sikap dalam dunia kerja yang diusung oleh generasi Z ini menolak tunduk pada mentalitas lama yang cenderung mengagung-agungkan pekerjaan yang menumpuk, beban kerja tinggi, kerja lembur dan memberikan hampir seluruh hidup hanya demi untuk kemajuan perusahaan saja. Belum lagi melakukan pekerjaan ekstra yang dilakukan hanya untuk menarik impresi atasan saja.
Penyebab Quiet Quitting
Ada beberapa analisa yang mempelajari sebab pastinya fenomena ini. Menurut Kompas.com, quiet quitting dipicu oleh para pekerja muda yang merasa bosan, pekerjaannya tidak diapresiasi dan tidak ada kompensasi atas kerja ekstra mereka akibat pandemi yang lalu.
Fenomena ini sama sekali tidak terkait dengan kelelahan bekerja, namun lebih kepada keinginan untuk mencapai kehidupan yang lebih seimbang dan lebih berkualitas. Bekerja sesuai dengan upah yang diterima saja dan sisanya fokus pada kehidupan pribadi.
Quiet quitting juga dinilai mulai berkembang ketika orang mulai merasakan dampak positif bekerja dari rumah semasa pandemi. Memang ada kecemasan masa depan karir, namun bekerja dari rumah menyadarkan banyak orang bahwa keluarga dan kehidupan pribadi jauh lebih bernilai daripada sekadar mengejar karir dan target profit perusahaan semata.
Baik atau Buruk?
Namun fenomena ini menuai berbagai tanggapan. Para pakar dan pemilik usaha banyak yang menolak sikap ini dan menegaskan kalau quiet quitting bukanlah cara untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan dalam karir.
Nah, pertanyaannya adalah apakah ukuran kesuksesan seseorang harus didasarkan pada pekerjaan dan karirnya di kantor saja? Tentu saja tidak! Artinya, ada orang yang tidak menakar kesuksesan hanya dari karir di kantor. Terlebih di masa sekarang ini dimana platform untuk mendapatkan penghasilan sudah lebih banyak dan canggih, orang bisa mendapatkan penghasilan dan mengembangkan reputasinya dengan banyak cara, seperti menjadi pekerja lepas, influencer, vlogger, podcaster, konsultan lepas dan lain-lain. Tidak harus cuma dari kantor. Sukses bisa datang dari mana saja dan berupa apa saja.
Menjadi quiet quitters mungkin bisa saja jadi sesuatu yang baik kalau kamu memang memandang kehidupan pribadi lebih penting dari karir. Jadi tidak berambisi untuk mendapatkan kenaikan penghasilan dan jabatan. Atau memang kamu merasa cukup dan puas dengan gaji yang kamu terima dan posisi kerja saat ini sehingga merasa tidak perlu mengorbankan work life balance kamu demi karir di kantor.
Quiet quitting juga bisa memberikan dampak bagi karyawan untuk bisa bekerja lebih fokus dan efektif, karena tidak ada penambahan beban kerja dan lain-lain yang hanya memicu stres.
Boleh saja kamu melakukan quiet quitting karena kamu punya pilihan dan pertimbangan tertentu untuk work life balance yang lebih baik. Namun kamu juga harus memastikan apa yang menyebabkan kamu mengambil langkah tersebut. Benarkah ini langkah yang tepat atau kamu hanya merasa bosan saja dan sebetulnya butuh pekerjaan yang baru? Pertimbangkan juga apakah quiet quitting ini tidak akan mengganggu pendapatan dan tabungan pensiun kamu nantinya.