Ketika Kita Menjadi Tokoh Jahat dalam Cerita Orang Lain

Tak ada satu pun manusia yang sepenuhnya menjadi tokoh utama yang baik di setiap cerita. Dalam kisah hidup orang lain, bisa jadi kita justru berperan sebagai sosok yang menyakiti, mengecewakan, atau bahkan “tokoh jahat” yang ingin mereka lupakan atau kalahkan.

Kenyataan ini sering kali menimbulkan rasa tidak nyaman. Bagaimana mungkin kita, yang merasa sudah berbuat sebaik mungkin, justru dianggap menyebalkan, manipulatif, atau tidak berperasaan? Namun, dalam konteks kesehatan mental, menerima kemungkinan itu bisa menjadi langkah penting untuk berdamai dengan diri sendiri.

Sponsored Links

Hidup dalam Versi Masing-Masing

Setiap orang hidup dengan versi ceritanya masing-masing. Dalam setiap versi, sudut pandang dan pengalaman emosional membentuk siapa yang dianggap baik dan siapa yang dianggap buruk. Mungkin seseorang pernah merasa disakiti oleh keputusan kita, padahal kita hanya berusaha melindungi diri. Atau ada yang menilai kita egois, sementara kita sedang belajar menetapkan batas agar tidak terus-menerus tersakiti.

Kita tidak bisa mengendalikan karakter kita dari kisah orang lain (Foto: Pexels)

Psikolog asal Amerika, Brené Brown, pernah berkata, “We are the authors of our own stories, but we will appear as a character in stories we don’t control.” Kutipan ini menggambarkan bahwa kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain menuliskan peran kita dalam hidup mereka.

Menyadari hal itu bukan berarti kita berhenti berintrospeksi. Justru sebaliknya, ini mengajak kita memahami bahwa persepsi orang lain terhadap kita tidak selalu sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah. Ada ruang untuk belajar, memperbaiki diri, sekaligus menerima bahwa tidak semua orang akan menyukai versi diri kita yang sekarang.

Dalam perjalanan menjaga kesehatan mental, menerima label “tokoh jahat” dari orang lain bukan tentang pasrah, melainkan tentang kebijaksanaan. Kebijaksanaan untuk memahami bahwa persepsi adalah hal yang relatif, dan kita tak selalu bisa mengendalikannya.

Alih-alih terus-menerus berusaha memperbaiki pandangan orang lain, fokuslah pada niat dan proses menjadi manusia yang lebih sadar. Berani meminta maaf jika memang salah, tetapi juga berani melangkah maju tanpa harus memuaskan semua orang.

Pada akhirnya, menjadi manusia yang sehat secara mental bukan berarti harus selalu menjadi “pahlawan” dalam setiap kisah. Kadang, menjadi “tokoh jahat” dalam cerita orang lain hanyalah tanda bahwa kita sudah tumbuh dan memilih untuk tidak terus hidup dalam cerita yang bukan milik kita.