Kartini Day Special #3: Nurul Arifin: Perjuangan Terhadap Diskriminasi Perempuan Belum Selesai

hari kartini nurul arifin

Perjuangan wanita terhadap sikap diskriminasi belum selesai. Ketidaksetaraan terhadap kaum perempuan masih menjadi masalah besar di Indonesia, terutama di saat kondisi konflik yang selalu mengorbankan perempuan. Wakil Ketua Umum Partai Golongan Karya, Nurul Arifin berbagi kisahnya pada Goodlife dalam rangkaian memperingati perjuangan R. A. Kartini.

Diskriminasi terhadap perempuan masih kerap terjadi. Setidaknya inilah yang menjadi perhatian besar pada Nurul Arifin saat berbincang dengan Goodlife. Namun, di tengah masalah tersebut, Nurul juga mengingatkan bahwa perempuan selalu menjadi tulang punggung dalam ekonomi keluarga, terutama di saat kondisi krisis.

Sponsored Links

Peran Perempuan di Tengah Pandemi  

“Representasi perempuan di masa pandemi ini justru menjadi bantalan ekonomi dan menjadi punggung keluarga,” terang Nurul. “Entah itu untuk pertumbuhan ekonomi atau tulang punggung di dalam rumah untuk memberikan waktu ke anak-anak. Ini luar biasa!” tambahnya.

Menurut Nurul, perempuan adalah makhluk yang kreatif karena terbiasa melakukan pekerjaan yang multi-tasking dan keberadaan perempuanlah yang biasanya menyelamatkan keluarga dari kondisi krisis. Nurul mencontohkan sosok perempuan yang selalu diasosiasikan sebagai orang yang pandai memasak. “Di saat kondisi krisis, justru keterampilan memasak inilah yang menjadi penyelamat dengan berjualan makanan atau mencoba menu-menu baru,” terang Nurul.

Nurul sendiri mengaku bahwa dirinya lebih memilih untuk beraktivitas di luar rumah sebagai politisi dibanding mengatur pekerjaan rumah tangga, karena begitu kompleksnya pekerjaan yang harus diatur di rumah. “Pekerjaan di rumah itu jauh lebih berat daripada pekerjaan di ranah publik, karena harus kelola begitu banyak hal dan harus menyiapkan semua kebutuhan keluarga,” terangnya.

Menangani Covid-19 bersama TNI. (Foto; IG @na_nurularifin)

Tapi Nurul juga mengingatkan bahwa di tengah banyaknya peran perempuan di masa krisis, perempuan juga memiliki sisi yang rentan. Nurul mencontohkan kondisi saat menemani anak bersekolah di masa pandemi, dimana sekarang ibu-ibu juga harus menjadi murid dengan mendampingi anak-anak mereka belajar secara virtual. “Ini berat, karena mereka harus ikut belajar lagi dari awal,” terang Nurul. 

Di sisi lain, Nurul juga mengapresiasi rekan-rekannya yang bekerja di Komisi IX DPR-RI dimana mereka serius membahas soal pendidikan di masa pandemi. “Teman-teman di parlemen sangat peduli soal ini. Mereka sampai minta pemerintah untuk pembangunan sinyal seluler, tiang saluran telepon dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan ini,” terang Nurul. Aktivitas tatap muka dengan murid di sekolah pun sudah disiapkan dengan pembatasan-pembatasan sesuai dengan protokol kesehatan.

Namun selain soal pendidikan, masalah lain yang jadi perhatian di masa pandemi adalah tidak sedikit perempuan yang juga harus mengurus suaminya yang mungkin terkena PHK. Kondisi ini kemudian menjadi beban psikologis tersendiri bagi perempuan yang sudah terbebani dengan mendampingi anak sekolah virtual. 

“Karena beban ini, kalau ibunya marah maka anaknya jadi korban. Ini akan jadi sumber konflik baru dan ujung-ujungnya yang disalahkan adalah ibunya juga,” jelas Nurul.

Lalu, di tengah peran perempuan yang semakin memikul tanggungjawab besar, seperti apa seharusnya masyarakat merayakan Hari Kartini di masa sekarang?

Perjuangan Belum Selesai

Merayakan Hari Kartini menurut Nurul adalah merayakan pemikirannya yang tak lekang oleh waktu. “Saya kira pemikiran Kartini itu timeless karena dia bicara soal emansipasi. Tak terbatas oleh waktu dan kondisi,” jelas Nurul. Begitu juga soal tradisi memakai kebaya di Hari Kartini yang menurut Nurul justru menambah hal baru, yaitu pelestarian kebudayaan kita.

“Kebaya itu jangan dilihat sebagai sesuatu yang membuat perempuan jadi masuk ke ranah tradisional, tapi kebaya harus dilestarikan dalam konteks sebagai wajah perempuan Indonesia,” jelas Nurul. “Jangan merasa terperangkap dalam kebaya karena kebaya itu tidak menghalangi orang untuk berkarya,” tegasnya.

Nurul justru menyoroti masalah diskriminasi pada perempuan yang sampai saat ini belum usai. Menurutnya masalah ketidaksetaraan gender ini belum selesai, meskipun negara secara struktur tidak melakukan diskriminasi pada perempuan. Dalam ranah politik, misalnya negara bahkan kini sudah mewajibkan untuk porsi pada perempuan, seperti harus ada 30% perempuan untuk caleg, pengurus partai hingga anggota KPU.

“Masalah diskriminatif ini lahir dari kultur,” terang Nurul. “Semua dilihat dari perspektif pria, akibatnya feminisme dianggap sebagai pemberontak. Padahal itu sah saja sebagai analisa,” tambahnya.

Aktivitas di parlemen. (Foto; IG @na_nurularifin)

Menurut Nurul, konstruksi sosial yang ada sekarang membuat perempuan tak pernah selesai dari masalah diskriminasi, karena secara kultur yang disampaikan adalah perempuan harus menjadi pendamping suami dan kadang ada di belakang suami. Kondisi inilah yang bagi Nurul membuat perempuan menjadi powerless. “Ini karena wanita itu dikonstruksikan sebagai second sex,” tegas Nurul.

Dalam ranah politik, Nurul juga mencontohkan bahwa di parlemen pun perempuan biasanya tidak sebebas pria dalam berbicara mengemukakan pendapat. “Inilah yang membuat budaya patriarki tetap hidup,” jelas Nurul.

Nurul juga mencontohkan sistem sosial dimana wanita itu untuk diperebutkan pria sehingga muncul perspektif baru bahwa perempuan itu untuk dimiliki pria. “Bahkan ada pria yang sampai berhutang pada orang tua perempuan karena dia belum bisa melunasi harga yang ditetapkan untuk perempuan itu,” jelas Nurul.

Kondisi seperti inilah yang menurut Nurul juga membuat akhirnya pria bisa sewenang-wenang mengambil alih semua peraturan yang membuat wanita terkekang. “Perjuangan ini belum selesai,” kata Nurul. 

Tentang Nurul Arifin

Nurul Qomaril Arifin atau akrab disapa Nurul Arifin adalah mantan aktris dan politisi dari Partai Golongan Karya. Lahir di Bandung pada 18 Juli 1966, Nurul memulai karirnya di dunia sinema dengan membintangi film pertamanya, Hati yang Perawan. Beberapa film populer lainnya yang pernah dibintangi Nurul adalah Naga Bonar (1986), Lupus (1987) dan Pacar Ketinggalan Kereta (1988).

Sukses di dunia film, Nurul mulai tergerak untuk menjadi aktivis sosial dan melanjutkan studi di Universitas Indonesia pada 1999 dan 2000 untuk mempelajari gender dan seksualitas. Karir politiknya di parlemen dimulai pada 2004 saat terpilih menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi DPP Golongan Karya. Saat ini Nurul Arifin menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golongan Karya untuk masa jabatan 2019-2024.

Mengimbangi aktivitasnya yang padat, Nurul mengaku bahwa kunci untuk menjaga kondisi fisik dan mental dalam kesibukan adalah passion terhadap pekerjaan itu sendiri. Menurut Nurul, kalau pekerjaan memang mendatangkan kebahagiaan, maka kondisi kesehatan juga akan terjaga. 

Visited 48 times, 1 visit(s) today