Tak Cuma Rasa, di Nusa Indonesian Gastronomy Makanan Indonesia juga Punya Cerita

nusa gastronomy

Kekayaan kuliner Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi. Saking kayanya, setiap daerah di Indonesia punya ciri khas makanan yang berbeda dan unik. Semuanya memang lezat. Tapi sampai sejauh mana orang Indonesia sendiri mengetahui dan bisa mengapresiasi makanannya? 

Bicara soal makanan Indonesia ternyata bukan perkara mudah. Chef Ragil Imam Wibowo, pendiri dan pemilik restoran Nusa Indonesian Gastronomy berbagi kisahnya pada Goodlife soal bagaimana ia mempelajari makanan Indonesia secara mendalam sebelum disajikan sebagai menu di restorannya.

Belajar dari Warga Lokal

Sebagai seorang chef, keinginan untuk punya restoran sendiri dengan menu Indonesia sebetulnya sudah ada sejak sebelum masa kuliah. “Akhirnya saya belajar di sekolah pariwisata di Bandung. Tapi sebelum belajar tentang makanan Indonesia saya belajar dulu makanan internasional seperti makanan Cina, Italia, Perancis, Jepang, Amerika dan lain-lain,” terang Chef Ragil. Menurut Chef Ragil menguasai teknik dan pengetahuan dasar tentang masakan internasional ini penting agar bisa memperkaya kreasi makanan Indonesia nantinya.  

nusa gastronomy
Chef Ragil Imam Wibowo (Foto: IG @nusagastronomy)

Namun, belajar soal makanan Indonesia ternyata tak sederhana, karena pendidikan formal hanya mengajarkan beberapa resep saja. “Makanan itu harus dipahami dari banyak hal, seperti bahannya, teknik memasaknya, dan ceritanya,’’ terang Chef Ragil.

Keingintahuan soal makanan Indonesia inilah yang akhirnya membuat Chef Ragil memutuskan untuk pergi ke daerah-daerah di Indonesia untuk belajar masak dan cari bahan masakan langsung dari warga lokal. “Saya mendatangi pasar-pasar dan rumah warga untuk belajar masak langsung dari mereka. Mereka umumnya senang dan sangat terbuka untuk menceritakan tentang makanan mereka,” kata Chef Ragil.

Kekayaan Makanan Indonesia

Belajar langsung dari orang lokal juga membuat Chef Ragil mengetahui bahwa makanan Indonesia itu luar biasa kayanya. Sebagai contoh, Chef Ragil menjelaskan bahwa dari wilayah barat Indonesia hingga ke tengah itu banyak dipengaruhi budaya kuliner India, Timur Tengah dan Cina. Sedangkan bagian tengah hingga ke timur Indonesia banyak dipengaruhi budaya kuliner Cina, Portugis, Spanyol dan sedikit pengaruh Jepang.

“Di Ambon itu ada semacam sashimi yang dimakan dengan sambal colo-colo, yaitu kecap manis dengan irisan cabai,” terang Chef Ragil.

Lebih rinci lagi, Chef Ragil juga menjelaskan bahwa di Aceh dipengaruhi oleh kuliner Timur Tengah yang banyak menggunakan bumbu kering. Di Sumatera Barat banyak dipengaruhi budaya kuliner India yang menggunakan bumbu basah. Sementara di Sumatera Utara bisa dilihat pengaruh kuliner Cina kuno dengan digunakannya andaliman yang juga dikenal dengan Szechuan pepper. Di Lampung dan Jambi ada pengaruh kuliner Melayu yang kuat dan perpaduan kuliner Cina dengan Jawa. Sementara Jawa sendiri banyak juga dipengaruhi kuliner Timur Tengah. “Makanan yang dibakar seperti sate itu pengaruh dari Timur Tengah,” terang Chef Ragil.

Foto: IG @nusagastronomy

Kawasan Indonesia Timur tak kalah menarik kulinernya, karena menurut Chef Ragil di daerah ini justru banyak menggunakan bumbu yang masih fresh dan tanpa ditumbuk. Terlebih di Papua yang teknik masaknya juga masih sangat tradisional.

Lalu, sebenarnya apa yang menjadi ciri khas dari makanan Indonesia? Chef Ragil sendiri mengakui kalau masakan Indonesia sendiri tidak bisa ditentukan ciri khasnya karena sangat banyak dan luas sekali cakupannya. Namun, secara sederhana Chef Ragil mendefinisikan makanan Indonesia sebagai  makanan yang paling banyak dipengaruhi oleh budaya makanan luar.

Tidak ada makanan yang dipengaruhi makanan luar sebanyak makanan Indonesia.

Chef Ragil Imam Wibowo

Namun dengan kekayaan makanan yang berlimpah, Chef Ragil juga menyayangkan beberapa hal, seperti kurang baiknya dokumentasi tentang sejarah makanan Indonesia. Selain belajar dari warga lokal, Chef Ragil juga mendapatkan banyak resep dan catatan penting seputar kuliner Indonesia dari buku-buku resep dan sejarah berbahasa Belanda.

Ia mencontohkan tentang sejarah kuliner di Jawa yang awalnya tidak mengkonsumsi nasi hingga kedatangan orang-orang Cina. “Di Jawa dulu orang makan umbi-umbian dan ada sekitar 300 hingga 500 jenis umbi yang ada di Jawa. Sekarang cuma ada sekitar 30. Informasi inipun saya dapat dari buku-buku Belanda,” terang Chef Ragil.

Orang Indonesia, khususnya di Jakarta, menurut Chef Ragil juga kurang bisa mengapresiasi makanan Indonesia di tingkat yang lebih tinggi. Ia mencontohkan bahwa orang akan rela membayar mahal untuk seporsi foie gras dari Perancis tapi tidak dengan telur bebek dari Danau Toba yang rasanya istimewa dan beda dari telur bebek kebanyakan.

“Ini karena orang tidak tahu apa keistimewaan telur bebek khas Danau Toba ini. Padahal mendatangkan telur bebek ini ke Jakarta lebih sulit daripada mendatangkan foie gras dari Perancis,” terang Chef Ragil.

Lalu, bagaimana orang Indonesia sendiri mengapresiasi kekayaan makanan lokalnya?

Foto: IG @nusagastronomy

Apresiasi dengan Cerita

Berkeliling Indonesia untuk belajar masak langsung dari warga lokal membuat Chef Ragil juga menemukan fakta bahwa umumnya orang daerah merasa kurang percaya diri untuk menunjukkan makanan khas daerahnya. Padahal, banyak wisatawan yang mencari makanan lokal saat traveling.

Fakta inilah yang menjadi salah satu pemicu munculnya ide mendirikan Nusa Indonesian Gastronomy. Selain itu, Chef Ragil juga melihat banyak sekali makanan daerah yang orang tidak banyak tahu. “Saya kemudian melakukan riset tentang makanan ini dan menyajikan menu-menu ini melalui pop-up dining, restoran yang cuma 3 hari,” terang Chef Ragil. Namun ternyata banyak pelanggan yang memintanya untuk membuka restoran permanen dengan menu khas Indonesia.

Nusa Indonesian Gastronomy adalah restoran yang menyajikan makanan Indonesia dengan konsep fine dining. Chef Ragil sendiri merancang menu-menu di sini agar pelanggan bisa menikmati dan merasakan langsung kekayaan kuliner Indonesia dari barat sampai timur. 

Proses terbentuknya Nusa Indonesian Gastronomy sendiri memakan waktu sekitar 5 tahun karena Chef Ragil ingin menghadirkan restoran dengan konsep berbeda. “Banyak yang mengajarkan saya bahwa menghidangkan makanan itu juga harus menghidangkan kultur,” terang Chef Ragil.

Itu sebabnya di Nusa Indonesian Gastronomy, pelanggan tak hanya sekadar menyantap hidangan saja, tapi juga mendapatkan sejarah dan cerita di balik makanan yang disantap. Dengan begitu, menurut Chef Ragil, orang akan lebih mengapresiasi makanan Indonesia.

Optimisme Chef Ragil ini terbukti dengan semakin banyaknya chef muda yang sekarang berani membuka restoran dengan menonjolkan menu daerahnya sendiri. “Dulu kalau bikin restoran menunya cenderung Western. Sekarang banyak yang mengandalkan menu lokal,” jelas Chef Ragil. 

Saat ini Nusa Indonesian Gastronomy hanya melayani pelanggan dari reservasi saja dan untuk reservasinya bisa melihat website Nusa Indonesian Gastronomy. (Yuda Minasiani )