Kita diajarkan untuk bekerja keras demi masa depan, tapi di tengah kejar target, lembur tanpa batas, dan rapat yang tak pernah selesai, ada satu hal yang sering kita abaikan: diri sendiri.
Bagi banyak anak muda, pekerjaan bukan sekadar sumber penghasilan. Ia juga simbol pencapaian, validasi sosial, bahkan identitas diri. Kita ingin diakui, produktif, dan terlihat “berhasil.” Namun tanpa disadari, semangat itu kadang berubah jadi obsesi; membuat kita merasa bersalah saat beristirahat, dan cemas saat tak sibuk.
Dalam dunia yang memuja produktivitas, kita sering lupa bahwa bekerja keras dan mencintai pekerjaan tidak sama dengan mencintai diri sendiri. Ketika ambisi tidak dibarengi keseimbangan, tubuh dan pikiranlah yang membayar harga.
Tanda Kamu Terjebak dalam “Work Love Trap”
Beberapa tanda bahwa kamu mungkin terlalu mencintai pekerjaan hingga lupa mencintai diri sendiri, antara lain:
- Kamu merasa bersalah saat tidak bekerja, bahkan di hari libur.
 - Kamu terus memikirkan pekerjaan meski sedang bersama keluarga atau teman.
 - Kamu menolak waktu istirahat karena takut “ketinggalan.”
 - Kamu ingin menjadi si paling kreatif, tanpa disadari ide-idemu mengganggu rekan kerja yang lain.
 - Kamu sulit tidur, mudah marah, atau sering merasa hampa meski kariermu berjalan baik.
 
Kondisi ini bisa menjadi pemicu burnout, kelelahan fisik dan emosional akibat stres berkepanjangan di tempat kerja. Menurut WHO, burnout bukan sekadar “capek kerja”, tapi gangguan kesehatan mental yang nyata, yang memengaruhi kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang.

Mengembalikan Cinta ke Diri Sendiri
Mencintai diri sendiri bukan berarti berhenti bekerja keras. Justru, itu tentang memberi ruang bagi tubuh dan pikiran untuk bernapas, agar kamu bisa terus melangkah dengan sehat.
Berikut beberapa cara sederhana yang bisa kamu mulai:
- Tetapkan batas waktu kerja.
Tutup laptop tepat waktu. Dunia tidak akan runtuh hanya karena kamu offline selama beberapa jam. Stop normalisasi lembur sebagai tradisi. Tidak ada yang namanya lembur menjadi tradisi atau budaya kerja. - Jadwalkan waktu istirahat seperti kamu menjadwalkan meeting.
Istirahat adalah produktivitas dalam bentuk lain, memberi ruang bagi otak untuk memulihkan energi. Bila meeting diharuskan tepat waktu, maka istirahat juga mutlak seperti itu. - Lepaskan identitasmu dari pekerjaan.
Kamu bukan hanya posisi, jabatan, atau portofolio. Kamu juga manusia yang berhak merasa tenang tanpa harus selalu “berprestasi”. Sudahi kebiasaan menyebut jabatan atau “part of” perusahaan ini itu pada profil media sosial. Diri kamu seutuhnya adalah kamu sebagai individu, bukan jabatan apalagi perusahaan tempat kamu bekerja. - Rawat koneksi sosial.
Bertemu teman, berolahraga, atau sekadar menonton film favorit bisa jadi bentuk kasih sayang untuk diri sendiri. Tumbuhkan keintiman hubunganmu dengan keluarga dan sahabat. Rekan kerja hanya sebatas jam kerja! - Kenali tanda burnout lebih awal.
Jika kamu mulai merasa kosong, sulit fokus, atau kehilangan makna dalam pekerjaan, jangan abaikan. Bicarakan dengan profesional atau orang terpercaya. 
Menemukan Arti “Cinta Sejati” terhadap Pekerjaan
Mencintai pekerjaan adalah hal baik, selama tidak mengorbankan kesehatan mental. Cinta yang sehat terhadap pekerjaan seharusnya memberi energi, bukan mengurasnya. Ia membuatmu tumbuh, bukan hilang arah.
Di akhir hari, keberhasilan sejati bukan soal seberapa keras kamu bekerja, tapi seberapa seimbang kamu bisa hidup. Karena dunia kerja akan terus berputar, tapi kamu hanya punya satu tubuh, satu hati, dan satu jiwa untuk dijaga. Bila tubuh dan pikiranmu mulai sakit karena pekerjaan, kamulah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Bukan rekan kerja atau atasan kamu, karena begitu kamu tidak lagi optimal dalam bekerja, maka kamu akan begitu mudah untuk digantikan dengan yang lain.
Sebelum kamu berlari lebih jauh mengejar pekerjaanmu, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri sendiri:
“Apakah aku masih bekerja untuk hidup, atau sudah hidup untuk bekerja?” Jika jawabannya mulai kabur, mungkin ini saatnya kamu menata ulang, bukan kariermu, tapi cintamu pada diri sendiri.

 

