Masa pubertas sering kali menjadi babak baru yang penuh tantangan, bukan hanya bagi anak yang sedang bertumbuh, tetapi juga bagi orang tua yang belajar menyesuaikan diri dengan versi baru dari anak mereka.
Ketika anak mulai berubah, secara fisik, emosional, dan cara berpikir, banyak orang tua yang merasa seperti sedang belajar menjadi orang tua dari awal lagi. Pubertas memang masa penuh gejolak, bukan hanya bagi anak, tapi juga bagi orang tua yang harus menyesuaikan cara mereka berkomunikasi dan mendampingi.
Perubahan Tak Hanya Terjadi pada Anak
Di masa pubertas, tubuh anak mengalami lonjakan hormon yang memengaruhi suasana hati, dorongan sosial, dan identitas diri. Namun, yang sering luput disadari adalah: orang tua juga ikut mengalami transisi emosional. Ada rasa kehilangan atas “anak kecil” yang dulu selalu terbuka, disertai kekhawatiran akan masa depan dan batas kendali yang kian menipis.
Menerima bahwa perubahan ini wajar adalah langkah awal yang penting. Anak yang sedang tumbuh membutuhkan ruang untuk mandiri, sementara orang tua perlu menata ulang peran, dari pengontrol menjadi pendamping.

Bangun Komunikasi yang Aman
Banyak anak menutup diri di masa pubertas karena merasa dihakimi atau tidak dimengerti. Maka, kunci utama bagi orang tua adalah menciptakan komunikasi yang aman dan tanpa tekanan. Cobalah berbicara dengan rasa ingin tahu, bukan interogasi.
Daripada bertanya “Kenapa kamu begini?” atau “Kamu kenapa berubah?”, lebih baik gunakan pendekatan reflektif seperti, “Sepertinya kamu sedang banyak pikiran, mau cerita sedikit?” Nada yang tenang dan empati seringkali membuka pintu kepercayaan lebih lebar dibanding nasihat panjang.
Validasi Emosi, Jangan Sekadar Menenangkan
Saat anak marah, sedih, atau bingung dengan perubahan dalam dirinya, hindari kalimat seperti “Ah, itu cuma fase” atau “Jangan lebay.” Kalimat semacam ini membuat anak merasa emosinya tidak penting. Sebaliknya, validasi perasaan mereka: “Aku paham itu pasti bikin kamu nggak nyaman” atau “Wajar kok kalau kamu bingung.” Dengan begitu, anak belajar bahwa emosinya sah, dan mereka tidak sendirian menghadapinya.
Jaga Kesehatan Mental Bersama
Pubertas bisa menjadi titik awal munculnya gangguan kecemasan atau perubahan suasana hati yang ekstrem. Orang tua perlu peka terhadap tanda-tanda seperti anak menarik diri, perubahan drastis dalam tidur, makan, atau prestasi belajar. Jika situasi terasa berat, jangan ragu mencari bantuan profesional seperti psikolog keluarga. Dukungan mental yang tepat dapat membantu anak melewati masa transisi ini dengan lebih sehat.
Hormati Privasi, Tapi Tetap Terlibat
Beri ruang bagi anak untuk membangun identitas dan privasi mereka, tapi jangan lepas kendali sepenuhnya. Jadilah “orang tua yang hadir diam-diam”, tidak mengintai, tapi selalu siap ketika dibutuhkan. Misalnya, tetap menanyakan kabar, menonton film bersama, atau sekadar makan malam tanpa gawai bisa jadi cara sederhana menjaga koneksi emosional.
Menjadi Teladan yang Tumbuh Bersama
Akhirnya, masa pubertas bukan hanya tentang anak yang tumbuh, tapi juga tentang orang tua yang belajar tumbuh bersama mereka. Menunjukkan bahwa kita pun bisa belajar, meminta maaf, atau mengelola emosi dengan sehat adalah pelajaran hidup yang tak kalah berharga bagi anak.
Menghadapi pubertas bukan soal bertahan dari badai, melainkan belajar berlayar bersama di tengahnya, dengan empati, kesabaran, dan keinginan tulus untuk memahami.

 
 

