Mengenal Toxic Positivity, Sikap Positif yang Ternyata Berdampak Buruk

mental health

Frasa ‘positive vibes only’ atau ‘dilarang mengeluh’ tentu ditujukan untuk membangkitkan semangat. Namun jika terlalu dipaksakan sampai harus menekan emosi negatif, hal itu bisa menjadi toxic positivity. Yuk, kenali toxic positivity dan dampaknya bagi kesehatan mental.

Pernahkah kamu mendengar ketika seseorang curhat tentang beratnya pekerjaan atau betapa tidak menyenangkan lingkungan kerjanya, lalu diberi tanggapan, “Jangan kebanyakan ngeluh, di luar sana masih banyak yang kesulitan cari kerja?” Atau ketika ada yang berduka mendapat musibah, lalu diberi nasihat, “sudah ikhlaskan saja, semua ada hikmahnya.”

Menjengkelkan bukan? Nah, kalimat-kalimat tadi adalah contoh dari toxic positivity. 

Secara sederhana, toxic positivity adalah kondisi di mana seseorang menekan atau memaksakan diri sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta mengabaikan emosi negatif seperti marah, sedih, dan kecewa.

Toxic positivity sering dilakukan tanpa sadar (Foto: Pexels)

Orang yang melakukannya (termasuk kamu) mungkin tidak menyadari jika kalimat yang diucapkan bermaksud untuk menghibur dan memberi semangat, justru bisa menjadi hal yang toxic atau beracun.

Kata-kata positif tadi sebenarnya bertujuan baik tetapi memaksa seseorang untuk menekan atau menghilangkan emosi negatif akan berdampak pada kesehatan mentalnya.

Toxic positivity juga menggambarkan harapan yang berlebihan dan tidak realistis untuk memiliki pandangan yang selalu positif, apapun keadaannya. Contoh: saat kamu kehilangan seseorang yang kamu cintai, kamu mendapat masukan seperti “sudahlah, ini yang terbaik”.

Yakin ini yang terbaik? Perlu dicatat bahwa kamu sama sekali tidak berhak untuk menghakimi mana yang terbaik dan mana yang tidak. Saat seseorang berduka dengan dalam, jangan hapus dukanya begitu saja. rasa duka adalah manusiawi, dengan menghapusnya begitu saja kamu saja dengan menghpaus sisi kemanusiaanya secara perlahan.

Ingat, emosi negatif tidak seharusnya dihilangkan sampai tuntas, tapi diseimbangkan dengan pikiran positif. Sehingga orang yang berduka bisa pulih dengan wajar.

Dampak Toxic Positivity 

Sikap positif sendiri sebenarnya tidaklah beracun tapi menolak semua emosi negatif dan memilih menunjukkan sikap baik-baik saja seringkali akan menjadi bumerang. Hal itu sama saja seperti sikap positif yang palsu, yang mengorbankan perasaan dan kesejahteraan yang sebenarnya. 

Kondisi itu tentu saja akan membuat seseorang kurang nyaman, kurang tangguh, dan tidak memiliki keterampilan yang baik mengelola emosi ketika di masa depan mendapatkan pengalaman yang tak mengenakan lagi.

Padahal, emosi-emosi negatif itu, seperti sedih, marah, kecewa, meski seringkali tidak menyenangkan, perlu kita rasakan dan tangani secara terbuka dan jujur untuk mencapai penerimaan dan kesehatan mental yang lebih baik.

Sebagai manusia, kita juga memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan emosi yang tidak nyaman dan menyakitkan. Menyangkal emosi-emosi negatif justru akan menciptakan keterasingan dan rasa putus asa.

kerja stres
Emosi negatif juga merupakan bagian dari proses penyembuhan diri (Foto: Pexels)

Menekan emosi negatif juga menghalangi seseorang untuk memproses emosi-emosi ini, sebuah keterampilan penting ketika menghadapi atau menyelesaikan situasi yang menyulitkan.

Dampak toxic positivity lainnya, adalah membuat seseorang sulit mencari bantuan atau dukungan saat mereka membutuhkannya karena takut dihakimi atau ditolak.

Jadi, selalu bersikap positif adalah hal yang penting. Namun di atas itu semua, membiarkan setiap orang mengalami berbagai emosi positif dan negatif, bisa mendorong mereka untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan mental mereka.