Mental Abuse, Luka Yang Tidak Berdarah

Riskiyana Adi Putra, M.Psi., Psikolog

Mental abuse, beberapa menyebutnya dengan emotional abuse ataupun psychological abuse yang berarti perlakuan menyakiti dan menyerang mental seseorang. Tak terlihat namun menyakitkan, mungkin mirip-mirip Virus Corona yang sedang marak saat ini.

Mental abuse ini berdampak ke kondisi emosional seseorang dan seringkali terjadi dalam lingkup sebuah hubungan. Seseorang menjadi seperti tidak mengenal dirinya sendiri, ketakutan, tidak bisa mengambil keputusan, dan masih banyak lagi.

Para pelakunya biasa disebut mental abuser dengan ciri yang sangat khas yaitu keinginan yang tinggi untuk mengontrol pasangan. Terlalu masuk kepada privasi pasangan dimana satu pihak terlalu mendominasi pihak lainnya. Mungkin kalau dalam bahasa kekinian sering kita dengar kata-kata seperti, “Cowo/cewe lo posesif banget.” Atau “Gila, overprotective banget pacar lo.”

Banyak yang bilang kalau hal inilah yang disebut cinta buta. Bagaimana pun anehnya perilaku pasangan kita, namun seseorang bisa tetap bertahan dalam sebuah hubungan yang toxic dengan mengatasnamakan cinta seperti itu. 

Mental abuse sendiri sebenarnya adalah salah satu dari bentuk kekerasan, yaitu kekerasan nonfisik. Jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Tidak langsung diketahui perilakunya apabila tidak benar-benar memperhatikan, karena tidak adanya sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.

Kekerasan nonfisik berdasarkan jenisnya dibagi dua, yaitu :

  1. Kekerasan verbal : kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak, dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll.
  2. Kekerasan psikologis/emosional : kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir, dll.

Berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan, hal ini dapat berupa tindakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau taktik kekerasan/paksaan, tidak hanya terbatas pada penghinaan, tetapi juga mencakup kontrol terhadap apa yang dapat atau tidak dapat pasangan lakukan, menahan informasi dari pasangan, mengisolasi pasangan dari teman-teman dan keluarga, dan menyangkal akses pasangan terhadap uang atau sumber-sumber daya yang mendasar lainnya.

Apa yang harus dilakukan?

Berdasarkan ciri dari perilaku seorang mental abuser yang sangat suka mengontrol dan mendominasi, jalan terbaik adalah meninggalkannya, karena bentuk dari intervensi akan dianggap mengganggu dominasi dari orang tersebut. Namun perlu diperhatikan juga seberapa parah tingkat perilaku abusive dari orang tersebut.

Kalau berbicara dalam konteks hubungan yang level nya masih pacaran, mungkin hal-hal seperti ini bisa lebih mudah ditangani. Sahabat Goodlife bisa merasionalisasi pikiran dengan membuka mata dan telinga untuk dapat melihat dan mendengarkan pendapat dari orang-orang yang benar mencintai kalian seperti sahabat, keluarga, dan biasanya sih orang-orang itu adalah orang-orang yang kontra dengan pasangan kalian karena menganggap hal tersebut kelewat batas. Saat sudah yakin, segera tinggalkan.

Namun apabila berbicara dalam konteks rumah tangga, maka hal ini akan menjadi masalah yang berat. Secara khusus hal ini diatur pada pasal 7 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berbunyi perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan  untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Diluar itu, karena banyaknya hal-hal yang menjadi pertimbangan seperti masalah anak, harta gono-gini, dan juga keluarga besar, maka escape plan nya pun akan jauh lebih rumit. Sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan profesional di bidangnya. Kenapa? Karena korban dari mental abuse secara profil menunjukkan kalau mereka kesulitan dalam menilai, bertindak, dan mengambil keputusan.

Seperti luka tapi tidak berdarah, menyakitkan namun tidak terlihat. Mungkin karena hal-hal seperti inilah lagu sakit gigi yang dibawakan oleh Meggy Z. bisa tercipta. Bait lagu yang berbunyi “Dari pada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini” menggambarkan kalau luka fisik bisa diobati, tapi tidak mudah dengan luka hati.

Sebelum membantu orang lain, alangkah baiknya kita cek dulu hubungan kita dengan pasangan. Kalau sekiranya ada  gejala-gejala ke arah hubungan yang abusive dan mengarah kepada mental abusive, mari perbaiki bersama sebelum terlambat.