Musibah Banjir di Sumatra adalah Luka Kita Semua

Saat banjir besar merendam wilayah Sumatera, ribuan warga kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan rasa aman yang paling mendasar. Namun ada satu kelompok yang jarang terlihat di layar kamera, yaitu mereka yang tidak menjadi korban langsung, tetapi menjadi saksi bisu dari ketidakpedulian dan minimnya respon negara.

Kelompok ini mengalami kondisi psikologis yang tak kalah berat, bahkan dalam beberapa aspek bisa lebih dalam dibanding korban banjir itu sendiri.

Fenomena ini dikenal dalam psikologi sebagai collective distress, yaitu rasa tertekan, marah, dan tidak berdaya yang muncul ketika seseorang menyaksikan ketidakadilan struktural dan masif , terutama dari pihak berwenang yang seharusnya melindungi.

Sponsored Links

Saat Pemerintah Tone Deaf pada Musibah

Banjir di Sumatra sudah menelan banyak korban, baik itu jiwa maupun yang kehilangan harta bendanya. Banyak laporan lapangan yang menggambarkan:

  • Respons yang lambat
  • Koordinasi penanganan yang minim
  • Tidak adanya deklarasi status darurat berskala nasional
  • Narasi bahwa banjir adalah “rutinitas musiman” atau “alami” gara-gara cuaca buruk

Bagi masyarakat yang menyaksikan peristiwa ini, ketidakpekaan semacam ini menciptakan disonansi psikologis: antara kenyataan bahwa ribuan warga sedang menderita, dan fakta bahwa otoritas tidak menunjukkan keseriusan yang sepadan. Bukanya menolong di saat yang diperlukan, para pemangku wewenang ini malah berakting demi jaga popularitas.

Ketika masyarakat kehilangan segalanya, kelaparan, ketakutan dan putus harapan, institusi yang seharusnya menjadi penyelamat justru menjadi penghambat. Tak peduli, berlindung di balik seragam yang necis, mengumbar alasan tanpa data dan berlaku seolah tak terjadi apa-apa.

Ilustrasi banjir (Foto: Pexels)

Dalam psikologi politik, kondisi ini mirip dengan secondary trauma akibat kegagalan institusi. Bukan hanya bencana alam yang melukai, tetapi cara negara meresponsnya. Masyarakat yang tak terkena musibah, secara fisik sebetulnya baik-baik saja dan masih beraktivitas seperti biasa. Namun sikap yang ditunjukkan institusi negara pada musibah yang terjadi telah menorehkan luka yang dalam di dalam masyarakat.

Mengapa Masyarakat yang Bukan Korban juga Mengalami Luka Batin?

1. Rasa Tak Berdaya yang Kronis

Korban langsung banjir sedang berada dalam mode bertahan hidup. Mereka fokus pada kebutuhan dasar: makan, tempat mengungsi, kesehatan. Sementara mereka yang tidak terdampak langsung, namun peduli, mengalami rasa tak berdaya yang menetap: melihat saudara sebangsa kesulitan tanpa bisa berbuat banyak, lalu melihat aparat negara tak memberikan respons yang layak.

Ini memicu learned helplessness, kondisi psikologis ketika otak meyakini bahwa apa pun yang dilakukan tak akan mengubah situasi.

2. Marah yang Tak Tersalurkan

Kemarahan yang sehat biasanya muncul jika seseorang punya saluran untuk bertindak: memprotes, membantu, atau menyelamatkan.
Namun ketika kanal-kanal itu buntu, amarah berubah menjadi resentment (rasa benci yang teramat sangat dan terus menggumpal). Ini berbahaya karena:

  • Menurunkan empati,
  • Memicu kelelahan mental,
  • Mengganggu hubungan sosial,
  • Meningkatkan risiko depresi.

3. “Moral Injury”: Ketika Nilai Kemanusiaan Tertabrak Realitas

Dalam kajian trauma, moral injury terjadi ketika seseorang menyaksikan tindakan (atau kelalaian) yang bertentangan dengan nilai moralnya. Melihat penderitaan warga banjir yang tidak ditangani serius dapat melukai prinsip:

  • Keadilan,
  • Kepedulian,
  • dan amanah.

Luka jenis ini sekali timbul sulit hilang, dan bisa membentuk sikap sinis berkepanjangan terhadap institusi publik.

4. Stres Antisipatif: Tak Kena Banjir Hari Ini, Tapi Bisa Besok

Warga Sumatra (dan masyarakat Indonesia pada umumnya) hidup dalam ketidakpastian iklim. Ketika negara tidak menunjukkan kesiapan menghadapi bencana, muncul ketakutan baru:

“Kalau wilayah lain kebanjiran dan pemerintah tak peduli, apakah daerahku juga nanti dibiarkan?”

Ini yang disebut anticipatory anxiety, salah satu pemicu utama gangguan kecemasan jangka panjang.

Ketidakpedulian sebagai Polusi Mental Publik

Dalam psikologi kesehatan masyarakat, respons pemerintah pada bencana bukan hanya isu teknis, tetapi juga isu kesehatan mental massal.

Saat negara terlihat pasif:

  • Kepercayaan publik menurun,
  • Rasa aman kolektif retak,
  • Masyarakat merasa sendirian menghadapi ancaman,
  • dan stres nasional meningkat.

Ketidakpedulian yang terlihat kecil, seperti: pernyataan meremehkan, minimnya kunjungan lapangan, atau tidak mengangkat isu ini ke level nasional, bisa bertindak sebagai polusi mental yang efeknya jauh lebih meluas daripada banjir fisik.

Banjir Adalah Bencana Fisik, Abai Adalah Bencana Psikologis

Banjir di Sumatra merusak rumah dan infrastruktur. Tetapi sikap abai terhadap bencana itu merusak sesuatu yang lebih rapuh: kesehatan mental kolektif masyarakat Indonesia.

Ketika negara tidak hadir sepenuhnya di tengah warganya yang terdampak bencana, luka yang tercipta bukan hanya pada mereka yang basah kuyup disapu arus, tetapi juga pada jiwa masyarakat luas yang menyaksikannya sambil bertanya-tanya: “Apakah hidup kita benar-benar dihargai?”