Jangan Sampai Keliru, ini Bedanya Self-Reward dengan Impulsive Buying

shopping

Ada banyak cara untuk melepaskan stress dengan sederhana. Salah satunya adalah dengan serangkaian tindakan yang dikenal dengan self-reward. Salah satu bagian dari tindakan ini adalah dengan berbelanja atau melakukan aktivitas dengan mengeluarkan uang. Sayangnya, karena tak terkendali, self-reward sering berubah menjadi impulsive buying yang merugikan.

Pada dasarnya yang dimaksud dengan self-reward adalah salah satu bentuk penghargaan untuk diri sendiri. Ini umumnya dilakukan ketika kamu berhasil mencapai target pekerjaan di kantor, menerima gaji, menerima bonus atau hal-hal istimewa lainnya yang kamu dapat dari jerih payah kamu.

Self-reward didasarkan pada bentuk penghargaan atas apa sudah kamu lakukan. Namun karena penghargaan ini dilakukan dari dan untuk diri sendiri, jadi sering reward ini berujung pada pemborosan uang yang tidak terarah.

Self-reward bisa berujung pada impulsive-buying (Foto: Xframe)

Salah satu bentuk self-reward yang paling mudah dilakukan adalah memanjakan diri dengan belanja produk yang kamu anggap bagus atau menyenangkan. Tanpa disadari kegiatan belanja ini kadang menjadi tidak terkendali dan fokus kamu bukan lagi pada reward tapi lebih kepada rasa puas setelah membelanjakan uang tanpa perhitungan.

Padahal, self-reward didasarkan pada penghargaan untuk diri sendiri dan atas dasar inilah maka biaya yang dikeluarkan juga berdasarkan perhitungan yang matang. Misalnya, kamu merencanakan akan beli jam tangan baru setelah bonus akhir tahun. Kamu bisa mengatur berapa harga jam yang mau kamu beli dan berapa bonus yang akan diterima. Jadi, sebelum tindakan kamu sudah melakukan perhitungan yang matang.

Penghargaan Jadi Belanja Tak Terkendali

Sederhananya, yang dimaksud dengan impulsive-buying adalah keputusan tanpa rencana untuk membeli suatu produk atau jasa dengan tiba-tiba. Ini berbeda dengan misalnya belanja bulanan yang sudah kamu rencanakan setiap bulannya dengan mengutamakan pada barang-barang kebutuhan pokok.

Impulsive-buying merupakan tindakan belanja yang tidak terkendali karena umumnya tidak melakukan perhitungan yang jelas. Tindakan ini biasanya juga murni berdasarkan emosi saja untuk melampiaskan sesuatu.

Impulslive buying bisa berujung pada kondisi keuangan yang tidak sehat (Foto: Xframe)

Lalu, bagaimana sebuah self-reward bisa berubah menjadi impulsive buying? Keduanya memang kadang dilihat sebagai tindakan yang perbedaannya tipis. Banyak orang menghamburkan uang dengan alasan self-reward, padahal ini sama sekali berbeda.

Terlalu menikmati belanja sampai akhirnya tidak memperhitungkan anggaran adalah salah satu penyebab kamu menjadi impulsive buying dari yang sebelumnya hanya ingin self-reward. Selain itu pikiran juga bisa membuat kamu terjerumus pada impulsive buying, seperti pikiran “kapan lagi bisa beli barang ini” atau “ini kan hasil kerja keras saya, jadi kenapa harus saya tunda belinya?”

Dampak dari Impulsive Buying

Akibat yang berbahaya dari impulsive-buying adalah kondisi keuangan yang tidak sehat. Ini karena tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar keinginan atau hasrat saja tanpa memperhitungkan kondisi keuangan.

Impulsive buying juga bisa menjadi penyebab kamu terjebak dalam berbagai jenis layanan pinjaman yang akan membuat kamu terlilit hutang dalam jangka waktu lama. Selain itu, dampak dalam jangka panjangnya adalah kamu tidak bisa merencanakan keuangan untuk hal yang lebih penting di masa depan, seperti beli rumah, beli kendaraan bermotor, menikah atau membeli perabotan. Ini karena lilitan pinjaman dan biaya cicilan yang harus kamu keluarkan tiap bulan. 


Self-reward seharusnya berujung pada rasa senang dan bahagia karena mendapat penghargaan atas upaya yang sudah kamu lakukan. Untuk itu, lakukan rencana keuangan yang baik untuk menyiapkan self-reward agar kondisi keuangan kamu tidak terkena dampak impulsive buying.