Pandemi mengubah banyak hal terutama untuk kaum wanita. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana perekonomian bisa terganggu secara global dan mengakibatkan banyak masalah sosial. Dalam kondisi seperti ini, lagi-lagi, perempuan menjadi tumpuan sekaligus sosok yang memberi harapan untuk bangkit dari keterpurukan. Terinspirasi dari perjuangan R. A. Kartini, Meutya Hafid, politisi dari Partai Golkar berbagi semangat tentang perjuangan perempuan di masa pandemi ini pada Goodlife.
Meutya Hafid, sebelumnya juga dikenal sebagai jurnalis di televisi yang kemudian hijrah ke ranah politik. Berbicara soal peranan perempuan di masa pandemi, Meutya yakin bahwa perempuan punya peran besar dalam usaha keluar dari krisis ini.
Tak Cukup Hanya Berkebaya
Meutya mencontohkan dorongan pemerintah pada UMKM untuk bisa menjadi pemicu bangkitnya perekonomian di Indonesia yang terpuruk akibat pandemi. “Di Indonesia, UMKM banyak digerakkan oleh perempuan. Ini artinya perempuan punya peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia,” terang Meutya membuka perbincangan dengan Goodlife.
Ketangguhan lain peran perempuan di masa pandemi menurut Meutya adalah tantangan kesehatan mental, dimana banyak para suami yang terpaksa dirumahkan dari pekerjaannya. “Di sini peran perempuan dibutuhkan untuk komunikasi dan konsultasi mengatasi krisis,” terang Meutya. “Jadi, banyak sekali hal baru bagi perjuangan perempuan di masa pandemi ini,” tambahnya.
Meutya juga menyoroti para tenaga kesehatan (nakes) perempuan yang menjadi garda terdepan dalam menangani pandemi. “Saya dengar 70% hingga 80% para nakes secara global adalah wanita. Ini menjadi momen dimana orang harus tahu bahwa perempuan berada di depan dalam membantu dunia ini melakukan healing terhadap pandemi,” tegas Meutya.
Satu hal yang perlu diingat, Meutya menegaskan bahwa dengan semakin beratnya tanggungjawab dan beban yang harus dihadapi, maka memperingati Hari Kartini di masa kini sudah bukan lagi waktunya untuk sekadar berkebaya saja.
Kurangnya Suara Perempuan
Di tengah derasnya tanggungjawab dan beban perempuan di masa pandemi, Meutya juga mengingatkan bahwa di ranah politik, suara perempuan sebetulnya masih kurang. “Jumlah perempuan di berbagai profesi sekarang sudah cukup banyak dan itu bagus. Tapi di politik itu masih kurang, padahal di politik kita butuh keberagaman,” terang Meutya.
Alasan inilah yang kemudian membuat Meutya memutuskan untuk terjun ke ranah politik. “Dalam membuat undang-undang dan kebijakan lainnya itu butuh perspektif berbeda. Jumlah perempuan di parlemen masih 19% dan kita masih usahakan untuk mencapai batas 30%. Itu sebabnya saya putuskan untuk masuk ke dalam dunia politik,” terang Meutya.
Selain kurangnya suara perempuan, Meutya juga menyebutkan alasan lain meninggalkan dunia jurnalistik.
Di media, lebih banyak hitam dan putih serta idealisme menjadi elemen paling penting. Tapi bukan berarti dalam politik tak ada idealisme, hanya saja kompromi lebih menjadi solusi. Apalagi di negara yang beragam seperti kita.
Meutya Hafid
Menurut Meutya, apa yang selama ini kita anggap baik dan menjadi idealisme kita belum tentu baik dan menjadi idealisme bagi orang lain.
Inspirasi dari Kartini
Dalam berkiprah di politik, Meutya juga terinspirasi dari salah satu ajaran Kartini, yaitu membaca dan membuka wawasan seluas mungkin karena saat ini salah satu cara untuk menghadapi tantangan adalah dengan banyak mengkonsumsi informasi.
Saya percaya bahwa informasi bisa melawan pandemi.
Meutya Hafid
Ajaran Kartini tentang membaca ternyata memang masih relevan di masa sekarang. Meutya mencontohkan bahwa kini banyak orang percaya pada hoaks akibat hanya membaca headline saja. “Itu bukan membaca namanya, hanya melihat judul atau awalnya saja. Tidak betul-betul membaca,” tegas Meutya. “Kartini mengajarkan kita untuk membaca dengan benar dan membaca yang membawa manfaat bagi orang banyak. Ini yang harus kita lakukan,” lanjutnya.
Meutya berpesan pada perempuan generasi muda untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender yang sudah dimulai oleh Kartini. “Ini harus terus dilakukan secara konsisten karena setiap zaman pasti ada tantangan khususnya,” tegas Meutya.
Tentang Meutya Hafid
Meutya Viada Hafid juga dikenal dengan Meutya Hafid, adalah seorang politisi dari Partai Golongan Karya dan juga seorang mantan jurnalis dan pembawa berita di televisi. Salah satu kejadian yang sempat dialaminya semasa menjadi jurnalis adalah kejadian penculikan saat sedang meliput konflik di Irak pada 2005 silam. Pengalaman dramatis tersebut kemudian dituangkan dalam buku berjudul ‘168 Jam Dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak’ yang diterbitkan pada 2007.
Kiprah Meutya di DPR-RI dimulai pada 2010 melalui Partai Golkar untuk masa jabatan hingga 2014. Setelah itu ia melanjutkan kiprahnya di parlemen untuk masa jabatan 2014 hingga 2019. Meutya Hafid kini menduduki posisi Wakil Ketua Komisi I DPR-RI.
Disela-sela kesibukannya, Meutya memilih olahraga bersepeda dan yoga untuk menjaga kebugarannya. Menurutnya, naik sepeda itu adalah having fun dan menjadi salah satu cara untuk menikmati keindahan Indonesia. Salah satu pengalaman naik sepeda yang dikenangnya adalah saat bersepeda di Waingapu, Nusa Tenggara Timur yang terkenal dengan keindahan alamnya.