Serupa Tapi Tak Sama, Ini Bedanya Gejala DBD dan Covid-19

Di masa pandemi, hampir semua perhatian kita tertuju pada Covid-19. Namun, kita juga harus mewaspadai infeksi-infeksi tropis lainnya, seperti DBD (Demam Berdarah Dengue) yang mulai mewabah, terlebih di musim hujan.

DBD dan Covid-19 memang dua penyakit yang berbeda, namun keduanya menunjukkan gejala yang mirip. Lalu, bagaimana kita membedakannya dan apa yang perlu dilakukan bila mengalami gejala tersebut?

Godlife bersama Rumah Sakit St. Carolus pada Rabu, 16 Februari 2021 mengadakan sesi IG Live Talk bertajuk “Kenali Perbedaan DBD dan Gejala Covid-19” dengan narasumber dr. Galuh Chandra Kirana Sugianto, SpPD, Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit St. Carolus Jakarta.

Sponsored Links

Mekanisme Virus Dengue

DBD, seperti yang sudah diketahui, disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan menular melalui gigitannya. Nah, saat tergigit nyamuk dan terinfeksi virus, imun dalam tubuh kita akan melawan virus dimana proses perlawanan ini akan menimbulkan peradangan atau gejala-gejala tertentu.

Proses ini juga akan membuat kerusakan pada pembuluh darah dan mengakibatkan kebocoran plasma dalam darah. Menurut dr. Galuh, kebocoran inilah yang harus diwaspadai dan pasien harus menjalani rawat inap karena harus menerima asupan cairan dari infus dan kemudian butuh observasi lebih lanjut.

Selain mengakibatkan kebocoran plasma, bertemunya imun dengan virus ini juga berpengaruh pada rusaknya trombosit karena akan ada penekanan untuk membuat trombosit baru. “Jadi, sudah trombositnya rusak, trombosit baru juga tak bisa terbentuk dengan baik selama masa peradangan. Inilah yang membuat trombosit berkurang,’ terang dr. Galuh.

Namun, dr. Galuh juga menyampaikan bahwa ada juga yang namanya Demam Dengue. “Demam Dengue itu bila tak terjadi kebocoran plasma dan biasanya trombosit turun tidak drastis. Biasanya pasien boleh rawat jalan,” terangnya.

Membedakan DBD dengan Covid-19

Sepintas, kedua penyakit ini memiliki kemiripan gejala, yaitu sama-sama memiliki demam. Namun menurut dr. Galuh, gejala demam pada DBD berbeda dengan demam pada Covid-19.

“DBD punya demam yang terpola. Demam tinggi di hari ke-1 hingga ke-3 dan turun tiba-tiba di hari ke-4,” jelas dr. Galuh. “Pada Covid-19, gejala demam belum tentu ada, contohnya pasien yang OTG,” tambahnya.

Gejala DBD yang khas lainnya adalah sakit kepala di belakang bola mata dan bintik merah pada tangan akibat pendarahan di bawah kulit. “Ini sangat khas sekali terjadi pada pasien DBD,” terang dr. Galuh. Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah saat hari ke-4 atau saat demam turun tiba-tiba, karena menurut dr. Galuh ini adalah fase di mana trombosit menjadi rendah dan ada kebocoran plasma dalam darah. “Kalau tidak ditangani dengan benar, maka akibatnya akan fatal dan bisa sampai pada kematian,” jelasnya.

Sementara pada Covid-19, gejala akan lebih cenderung pada saluran pernafasan karena memang virusnya masuk melalui saluran pernafasan. Namun dr. Galuh mengingatkan bahwa penderita DBD juga bisa mengalami sesak nafas dan batuk. “Misalnya pada pasien yang mengalami kebocoran plasma berat kadang ada kebocoran plasma di pembuluh darah paru-paru sehingga terjadi penimbunan cairan di paru-paru,” terangnya.

Lalu bagaimana dengan penanganan pasien bergejala DBD selama masa pandemi? Menurut dr. Galuh, jika ada pasien demam dengan gejala saluran pernafasan maka bisa dikatakan mengarah ke Covid-19. Bila hanya mengalami demam saja bisa dilakukan screening untuk keduanya.

“Misalnya, trombosit rendah. Covid-19 juga bisa mengalami trombosit rendah tidak berpola seperti DBD,” terang dr. Galuh. “Turunnya trombosit di DBD itu berpola. Biasanya turun di hari pertama hingga ketiga dan naik lagi di hari kelima,” tambahnya.

Hal lain yang menjadi perhatian dr. Galuh adalah bahwa orang sering membicarakan soal trombosit saat DBD tapi banyak yang tak memperhatikan hematokrit. “Hematokrit ini adalah salah satu tanda terjadinya kebocoran plasma dalam darah,” terang dr. Galuh.

Semakin parah terjadi kebocoran dan semakin kental darah, maka hematokrit akan semakin naik. “Kalau kebocoran plasma makin parah dan tak diimbangi cairan yang masuk, maka akibatnya akan fatal,” terang dr. Galuh.

Lalu, dr. Galuh juga memberikan perhatian pada hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu NS1. “NS1 ini adalah antigen virus. Kalau sudah terdeteksi, berarti ini positif DBD,” jelas dr. Galuh. “Tapi kalau tak terdeteksi bukan berarti bebas DBD, karena NS1 ini mudah hilang,” tambahnya. Jadi, walau hasil laboratorium tak menunjukkan adanya NS1, namun bila pasien disertai gejala yang mengarah ke DBD, seperti turunnya trombosit, maka pasien tetap akan dicurigai terinfeksi DBD.

Selain menjelaskan secara singkat soal pentingnya memperhatikan gejala DBD, dr. Galuh juga menjawab beberapa pertanyaan seputar DBD dan kemiripannya dengan gejala Covid-19.

Bila terinfeksi DBD di masa pandemi, harus isolasi mandiri atau rawat inap?

Menurut dr. Galuh, bila hanya sebatas demam Dengue memang boleh rawat jalan, namun harus disertai pengecekan darah setiap hari. Tapi bila diketahui trombosit turun cukup jauh dan drastis maka harus dilakukan rawat inap untuk mencegah keparahan lebih lanjut.

Benarkah yang pernah kena DBD akan kebal Covid-19?

Ditegaskan oleh dr. Galuh bahwa hal ini tidak benar, karena virus Covid-19 dan DBD jelas berbeda dan ditularkan dengan cara yang berbeda. “Sampai saat ini juga tak ada bukti kalau kena DBD bisa kebal Covid-19 dan sebaliknya,” tegas dr. Galuh.

Bagaimana kalau kena DBD dan Covid-19 bersamaan?

Di sini dr. Galuh juga menerangkan bahwa cukup banyak kejadian seperti itu. “Kita lihat kondisi klinis pasien dan kemudian pemeriksaan penunjang, seperti hasil rontgen dan laboratorium,” terang dr. Galuh.

Memang bila DBD tak terlalu parah pada dasarnya bisa melakukan rawat jalan, namun ini juga harus disertai cek darah setiap hari. “Ini akan mengganggu karena pasien juga positif Covid-19 dan harus isolasi mandiri,” terang dr. Galuh. “Jadi, biasanya akan dianjurkan rawat inap untuk bisa memantau kondisinya secara baik,” tambahnya.

Apakah isotonik efektif mengembalikan cairan tubuh?

Hal ini dijelaskan dr. Galuh bahwa pada dasarnya semua cairan bisa untuk mengatasi kekurangan cairan pada tubuh. Namun masalahnya adalah bila terjadi kebocoran plasma dalam DBD, maka penggantian cairan harus dilakukan sesegera mungkin. “Kalau terjadi kebocoran di fase kritis, kita harus beri cairan yang langsung ke pembuluh darah melalui infus. Kalau lewat minum saja prosesnya lebih lama,” tegas dr. Galuh.

Benarkah jambu biji ampuh atasi trombosit yang turun?

Menurut dr. Galuh, sampai saat ini belum ada penelitian medis yang membuktikan kalau jambu biji bisa mengatasi trombosit yang turun akibat kebocoran plasma. “Selama masa peradangan maka trombosit akan terus dihancurkan dan akan selesai bila masa peradangan selesai juga,” jelas dr. Galuh.

Apakah fogging efektif untuk mencegah DBD?

Sejauh ini menurut dr. Galuh, fogging masih efektif untuk membunuh nyamuk dan mencegah penyebaran wabah demam berdarah. “Rumah sakit juga bisa memberikan rekomendasi fogging untuk kawasan yang dilaporkan terkena DBD,” kata dr. Galuh.

Kena DBD bisakah terkena lagi? 

DBD tidak membentuk antibodi yang tetap, jadi kemungkinan terkena lagi sangat bisa. “Bisa saja baru sembuh DBD tapi tergigit nyamuk lagi besoknya dan terkena lagi,” ujar dr. Galuh.

Nah, bagi Sahabat Goodlife yang ingin menyimak sesi IG Live Talk ini secara lengkap bisa mengakses IGTV akun Instagram @_goodlifeid_ atau akun Youtube Rumah Sakit St. Carolus Jakarta.

Tetap sehat ya, Sahabat Goodlife.

Visited 21 times, 1 visit(s) today