Tetap Tangguh Meski Pandemi, ini Kisah Tim Medis Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020

Olimpiade baru saja selesai. Digelar di tengah pandemi yang masih cukup tinggi di beberapa negara, olimpiade kali ini menghadirkan cerita yang berbeda. Ada kecemasan akan kondisi pandemi, tapi ada juga semangat positif yang memotivasi untuk bisa tetap menampilkan yang terbaik. 

Kami berbincang dengan dr. Antonius Andi Kurniawan, SpKO dari Rumah Sakit St. Carolus Jakarta tentang pengalamannya mendampingi para atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 melalui sesi IG Live di akun Instagram @_goodlifeid_ dan @rscarolusjakarta pada Jumat, 13 Agustus 2021 lalu dengan topik “Kisah Tim Medis Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020”.

“Saya sendiri sebetulnya ingin olimpiade kali ini ditunda dulu, karena saat itu kasus positif Covid-19 di Indonesia sedang tinggi,” terang dr. Andi membuka perbincangan dengan Goodlife.

Saat mempersiapkan keberangkatan, Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan kategori 1 dalam kasus Covid-19 di dunia. Ini artinya Indonesia termasuk negara yang harus diawasi sangat ketat untuk bisa dan selama bertanding di Tokyo.

“Kami harus melakukan tes PCR setiap hari selama 7 hari berturut-turut sebelum berangkat dan hasilnya harus negatif semua,” jelas dr. Andi. Setelah tiba di Tokyo tes juga terus dilakukan, namun dengan metode saliva, yaitu pengetesan dari air liur.

Dr. Antonius Andi Kurniawan, SpKO (Foto: Dok. dr. Antonius Andi Kurniawan, SpKO)

Protokol Kesehatan Sangat Ketat

Secara pribadi, dr. Andi menyampaikan apresiasi pada pihak penyelenggara olimpiade yang menetapkan protokol kesehatan sangat ketat. “Kami semua dibekali playbook, yaitu buku panduan protokol kesehatan selama berada di perkampungan atlet,” terang dr. Andi.

Penerapan aturan dari playbook juga sangat ketat. Misalnya, yang boleh buka masker saat berlatih atau pertandingan hanya atlet saja, pelatih dan dokter tidak diizinkan membuka masker, dan harus menjaga jarak.

“Bila ada yang melanggar maka akan langsung dipulangkan. Penerapannya tegas sekali,” kata dr. Andi.

Salah satu pengalaman menarik selama mendampingi atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo, menurut dr. Andi adalah ruang makan khusus yang memisahkan tim Indonesia dengan tim negara lainnya, karena saat itu Indonesia termasuk negara dengan kategori 1 dalam hal jumlah kasus Covid-19.

“Kami diberikan ruang makan khusus yang terpisah dari atlet lain. Tapi tak apa-apa, karena kami menganggapnya ini perlakuan istimewa seperti VIP,” terang dr. Andi.

Dr. Andi yang sebelumnya juga sudah pernah mendampingi atlet Indonesia di Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio 2016, juga menerangkan salah satu perbedaan olimpiade kali ini adalah tidak bisa sebebas sebelumnya untuk berkomunikasi dengan atlet dari negara lain, dikarenakan adanya protokol kesehatan.

“Olimpiade sebelumnya kami bisa bebas bertemu atlet lain dan berfoto bersama mereka. Kali ini tidak bisa,” terang dr. Andi.

Dr. Andi juga mengapresiasi pelaksanaan olimpiade terkait dengan perkampungan atlet yang dirancang sangat baik. “Ruang makannya sangat luas dan semua kebutuhan untuk nutrisi ada di sini. Semua makanan diberi nutrition facts yang jelas. Begitu juga dengan ruang gym yang sangat luas dan ada sekat diantara peralatan olahraga,” terangnya.

Bersama atlet angkat besi Eko Yuli Irawan di area perkampungan atlet. (Foto: Dok. dr. Antonius Andi Kurniawan, SpKO)

Pandemi dan Netizen jadi Beban

Kondisi pandemi memang membatasi hampir segala aktivitas di perkampungan atlet olimpiade. Namun menurut dr. Andi kondisi serba terbatas ini tak hanya mengganggu mental atlet Indonesia saja, tapi juga atlet negara lain.

“Olimpiade kali ini semua atlet merasa kurang maksimal dalam persiapan, karena pandemi yang membuat jadwal latihan mereka terbatas, sarana olahraga dibatasi dan kekhawatiran terinfeksi virus,” terang dr. Andi. 

Bisa lolos ke olimpiade juga bukan perkara mudah. Meskipun tidak ada penonton, namun menurut dr. Andi tekanan justru lebih kuat dari netizen melalui media sosial. “Beberapa atlet bulutangkis bahkan meng-uninstall Instagram mereka supaya bisa lebih fokus dan terhindar dari stress dan ini jadi strategi yang bagus buat mereka,” kata dr. Andi.

“Olimpiade kali ini ibaratnya lebih ke mental games. Kondisinya memang tidak ideal ditambah lagi komentar netizen yang ternyata bisa mempengaruhi atlet,” jelas dr. Andi. “Contohnya, Michael Phelps, perenang Amerika Serikat pernah ingin bunuh diri karena tidak kuat dengan hal seperti ini,” lanjutnya.

Kondisi pandemi juga membuat Indonesia tidak mengirimkan banyak atletnya dan hanya 28 atlet saja yang bertanding, yaitu untuk cabang olahraga bulu tangkis, atletik, panahan, angkat besi, selancar, renang, menembak dan dayung.

Ini berarti tim medis yang mendampingi juga semakin sedikit. “Kami hanya bertiga, saya sebagai dokter olahraga, 1 lagi khusus recovery dan 1 lagi untuk fisioterapi,” jelas dr. Andi. 

Jumlah tenaga medis yang terbatas ini juga menjadi masalah saat para atlet butuh motivasi. “Sayangnya tidak ada tenaga psikolog. Jadi untuk membantu motivasi teman-teman atlet, kami semua dengan pelatih ikut berperan,” terang dr. Andi. 

Atlet angkat besi Rahmat Erwin dan Windy Cantika adalah contoh 2 atlet yang mengalami hal tersebut. “Awalnya mereka merasa sangat terbebani dengan olimpiade karena harus tampil maksimal,” terang dr. Andi. “Tapi saya dan pelatih kemudian menyampaikan ke mereka bahwa mereka harus bangga, mengingat mereka masih usia junior. Jadi enjoy the game saja,” lanjutnya.

Hal ini terbukti dengan suksesnya Windy Cantika yang kemudian mendapat medali perunggu sekaligus menjadi medali pertama bagi tim Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020.

Bersama Windy Cantika, atlet angkat besi peraih medali perunggu. (Foto: Dok. dr. Antonius Andi Kurniawan, SpKO)

Tantangan Menjaga Kesehatan Atlet

Tanggungjawab untuk menjaga kesehatan atlet sebelum berangkat dan selama berada di Tokyo adalah tantangan tersendiri. Menurut dr. Andi, salah satu atlet Indonesia bahkan sempat positif terinfeksi Covid-19 sebelum ke Tokyo. “Untungnya dia terinfeksi sudah seminggu sebelumnya, jadi menjelang berangkat tes PCR-nya selalu negatif,” terang dr. Andi.

Perlu diketahui juga kalau dalam 2 tahun terakhir ini memang mental atlet cukup terbebani dengan kondisi pandemi. “Atlet selalu latihan tapi tidak tahu kapan harus bertanding karena pandemi. Ini saja sudah jadi beban buat mereka,” terang dr. Andi.

“Jadi, kalau sudah terpilih untuk ikut olimpiade tapi gagal pergi karena positif, ini akan berpengaruh sekali ke mental mereka,” lanjut dr. Andi.

Itu sebabnya sebelum berangkat ke Tokyo, pendampingan kepada para atlet juga memberlakukan protokol kesehatan yang sangat ketat, seperti atlet yang berlatih, dalam perjalanan ke tempat latihan harus mengenakan masker ganda. Selama melakukan pemanasan harus menggunakan 1 masker dan hanya latihan inti saja yang boleh membuka masker. “Setelah usai latihan harus pakai 1 masker dalam proses pendinginan, dan pulang latihan harus kembali pakai masker ganda,” tegas dr. Andi.

Olimpiade Tokyo 2020 memang sempat menjadi kontroversi sebelum dimulai karena adanya pandemi. Namun dengan protokol kesehatan yang ketat, pesta olahraga ini akhirnya bisa digelar. Meskipun dengan suasana yang berbeda dari olimpiade sebelumnya, tapi setidaknya acara ini tetap bisa memotivasi kita untuk bangkit dari pandemi yang berkepanjangan. Terutama juga buat tim Indonesia yang sudah menunjukkan ketangguhannya untuk bertanding dalam kondisi yang serba terbatas.

Buat Sahabat Goodlife yang ingin menyimak sesi IG Live ini bisa mengaksesnya melalui akun Instagram @_goodlifeid_ di saluran IGTV.