Di tengah merebaknya pandemi Covid-19, isolasi mandiri menjadi pilihan utama saat seseorang teridentifikasi positif terinfeksi virus. Namun ternyata tidak semua orang paham tentang melakukan isolasi mandiri. Mulai dari aturan dasar tempat isolasi hingga durasi yang kadang berbeda sering membuat orang makin bingung.
Itu sebabnya Goodlife menggelar sesi IG Live Talk yang bertajuk “Terkonfirmasi Positif Covid-19, Sampai Kapan Harus Isolasi Mandiri?” dengan narasumber dr. Ardeno Kristianto, SpPD, Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit St. Carolus Jakarta pada Kamis, 11 Februari 2021 lalu.
Isolasi Mandiri atau ke Rumah Sakit? Ini Cara Ketahuinya
Salah satu masalah yang sering membuat bingung adalah durasi atau berapa lama seseorang harus isolasi mandiri bila terinfeksi virus Covid-19 atau kapan seseorang harus isolasi mandiri? Namun sebelum membahas soal tersebut, ada baiknya Sahabat Goodlife mengenal dulu apa itu isolasi mandiri.
“Sebagai pribadi yang terpapar Covid-19, harus mengisolasi dirinya dari interaksi orang sekitar dengan tujuan untuk memutus rantai penularan,” jelas dr. Ardeno membuka sesi IG Live Talk. Namun memang tak semua orang boleh melakukan isolasi ini karena ada risiko isolasi mandiri justru akan memperburuk keadaan bila dilakukan orang dengan kondisi tertentu.
“Itu sebabnya isolasi mandiri akhirnya mengalami penyempitan makna, yaitu hanya untuk orang yang terkonfirmasi Covid-19 tapi dengan gejala ringan, atau tak ada gejala sama sekali yang boleh melakukannya,” terang dr. Ardeno.
Masalahnya, gejala ringan yang terjadi juga sulit untuk ditentukan waktu isolasinya. “Ada orang yang awalnya gejala ringan tapi jadi buruk. Ada juga yang mengalami gejala ringan tapi stabil,” tambah dr. Ardeno.
Gejala ringan biasanya berupa tubuh meriang tapi tak merasa ada demam tinggi. “Meriang itu berarti suhu dari inti badan kita sedang panas tapi tidak dengan permukaan tubuh kita. Jadi saat temperatur tubuh dicek, temperaturnya tetap normal,” terang dr. Ardeno.
Kebanyakan, orang yang melakukan isolasi mandiri juga enggan mengambil keputusan untuk diperiksa lebih jauh oleh dokter. “Ada orang yang demam sampai hampir seminggu masih tetap isolasi mandiri. Saya katakan untuk hentikan isolasinya dan segera ke dokter,” tegas dr. Ardeno. “Hari ke-4 masih demam apalagi sampai sesak nafas selama seminggu, itu jelas ada pneumonia (radang paru),” tambahnya.
Lalu, apa yang bisa dijadikan indikator untuk mengetahui apakah pasien mengalami gejala ringan, sedang atau berat? Menurut dr. Ardeno ada 3 hal yang bisa jadi acuan, yaitu:
- Orang yang sudah mengalami demam selama 3 hari dan terus menggigil dengan suhu tinggi. Ini sudah dianggap terindikasi ada pneumonia. Namun bila di hari ke-4 demam mulai turun, maka ini adalah tanda-tanda baik. Bila tetap demam maka bisa dikategorikan gejala sedang. Pilek, kehilangan penciuman dan pengecapan tanpa demam masih bisa dikategorikan gejala ringan.
- Mengalami batuk kering berkepanjangan. Misalnya, mengalami gangguan batuk kering sampai setidaknya 4 hari, juga bisa dianggap sebagai indikasi adanya pneumonia dan periksakan diri ke rumah sakit.
- Terjadi sesak nafas yang cukup parah hingga saat rebahan pun mengalami sesak nafas. Ini adalah indikasi pneumonia yang amat jelas dan merupakan gejala berat.
Lebih jauh, dr. Ardeno juga sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan netizen seputar isolasi mandiri dan Covid-19.
Beda tes antigen dengan PCR?
Dalam tes antigen, dokter mengambil protein yang mewakili sebagian kecil dari virus untuk kemudian dianalisa. Sedangkan PCR mengambil RNA (asam ribonukleat, jenis utama dari asam nukleat yaitu sel besar dalam tubuh) untuk kemudian dianalisa.
“Kalau antigen tak banyak menangkap protein virus, maka hasilnya akan negatif meski ada virusnya dalam tubuh,” terang dr. Ardeno. “PCR negatif, tapi kalau diikuti dengan gejala khas, juga harus tes dua kali karena PCR akurasinya hanya 70%. Bisa jadi tes yang pertama masuk ke 30% yang gak akurat,” lanjutnya.
Lalu, apa yang menyebabkan akurasi PCR hanya sebatas 70% saja? Lebih jauh, dr. Ardeno juga memberikan analogi menarik tentang tes PCR. “Bayangkan ada beberapa orang buta yang disuruh memegang gajah. Ada yang pegang kuping dan bilang itu gajah, ada yang pegang buntut dan bilang itu gajah. PCR juga seperti itu. PCR tak bisa menangkap ‘gajah’ secara keseluruhan,” terang dr. Ardeno. “Tugas dari PCR hanya menangkap satu bagian yang terspesifikasi saja dari ‘gajah’ tersebut,” lanjutnya. Jadi, secara umum PCR tetap gak bisa mengidentifikasi keseluruhan virus, tapi hanya fragmen virus saja.
Jadi, berapa lama sebaiknya isolasi mandiri?
Menurut dr. Ardeno, umumnya virus akan mati mulai hari ke-8 hingga 18. “Lebih dari 18 hari virus sudah gak ada yang hidup,” terang dr. Ardeno.
Anjuran isolasi mandiri 10 hari itu sendiri berdasarkan temuan bahwa pada hari ke-10 ditemukan lebih dari 90% virus sudah mati. Itu sebabnya isolasi mandiri yang dianjurkan Kementerian Kesehatan dan WHO adalah 10 hari. Atau kalau ada gejala dalam 10 hari akan ditambah 3 hari bebas gejala. Jadi kalau sudah isolasi mandiri 10 hari tapi masih ada gejala, maka akan ditambahkan 3 hari lagi. Sebaliknya, pada orang dewasa sehat yang melakukan isolasi mandiri selama 10 hari tanpa gejala, bisa dianggap virusnya sudah mati semua.
“Namun, kalau orang punya penyakit bawaan, maka waktunya akan berbeda,” tegas dr. Ardeno. Virus memang akan mati dengan sendirinya karena tubuh akan membentuk antibodi. Tapi kalau orang dengan penyakit bawaan, tentu imunnya akan rendah dan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk antibodi juga pasti akan berbeda. “Kondisi seperti ini butuh penilaian dokter lebih lanjut,” terang dr. Ardeno.
Seperti apa kriteria tempat untuk isolasi mandiri?
Menurut dr. Ardeno, sebisa mungkin lokasinya harus terpisah untuk menghindari interaksi dengan anggota keluarga. Dr. Ardeno juga menjelaskan bahwa penularan Covid-19 gak hanya melalui droplet, tapi juga bisa dengan fomite (virus yang menempel di permukaan). “Orang yang isolasi mandiri boleh saja jalan-jalan keluar ruangan untuk melakukan hal lain. Tapi pastikan juga di tempat tersebut gak ada orang lain,” kata dr. Ardeno.
Apakah Sodium hypochlorite efektif hancurkan virus?
Tentu saja efektif, namun perlu berhati-hati karena bisa menimbulkan iritasi pada kulit dan ada risiko racun karena proses aerosolisasi.
Apakah pasien OTG bisa kembali positif dalam masa isolasi mandiri?
Tentu saja bisa. Perlu diketahui adanya proses viral shedding, yaitu proses pengeluaran sisa virus dari dalam tubuh. “Proses ini membuat orang yang melakukan tes antigen atau PCR setelah isolasi justru dapat hasil positif. Padahal yang terdeteksi itu adalah virus mati yang keluar dari tubuh,” terang dr. Ardeno.
Penelitian sendiri membuktikan bahwa di Korea Selatan pernah terjadi pasien yang positif Covid-19 hingga 4 bulan dan di Amerika Serikat hingga 3 bulan.
Nah, bagi Sahabat Goodlife yang ingin menyimak IG Live Talk secara lengkap bisa mengakses IGTV akun Instagram @_goodlifeid_ atau saluran Youtube HIDUP TV.
Tetap sehat ya, Sahabat Goodlife.