Riskiyana Adi Putra, M.Psi., Psikolog
“Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.”
Peribahasa tersebut cukup menjelaskan penyebab timbulnya kekecewaan pada diri seseorang. Kala harapan tidak sesuai dengan kenyataan, hal itu adalah pengertian dari kecewa. Perasaan ini bisa muncul pada setiap aspek kehidupan manusia. Kecewa merupakan salah satu dari emosi negatif pada diri seseorang.
Sebagai contoh, di masa pandemi ini, banyak kita lihat fenomena karyawan yang dirumahkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan, padahal beberapa karyawan sudah memiliki rencana jangka panjang untuk kehidupannya masing-masing. Tentu saja hal ini menjadi seperti pecut yang memicu timbulnya rasa kecewa pada diri orang-orang tersebut karena ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan.
Atau bisa juga ditarik ke aspek percintaan, yang mana seseorang merasa kecewa karena pernikahan mereka tertunda akibat pandemi yang sedang melanda.
Hal yang sangat manusiawi mengingat semua orang pasti pernah merasakan hal ini. Namun perlu diingat, segala sesuatu tentu memiliki batas wajar. Hal yang kurang ataupun lebih termasuk dengan perasaan kecewa ini bisa menimbulkan sesuatu yang lain.
Tidak pernah kecewa menunjukkan seseorang tidak memiliki visi atau pun rencana dalam kehidupannya. Terlalu sering kecewa menunjukkan terlalu tingginya ekspektasi seseorang terhadap sesuatu. Ada orang-orang yang mampu dengan mudah melepaskan diri dari perasaan ini, namun ada pula yang tidak. Terlalu larut dalam kekecewaan tentu akan memberikan banyak dampak yang buruk baik secara mental maupun fisik. Hal tersebut diantaranya, susah tidur, mudah tersinggung, kurang semangat, sampai sakit kepala atau tekanan darah yang tidak stabil. Masih banyak hal lainnya yang bisa timbul karena hal ini.
Banyak hal yang bisa dilakukan sebagai antisipasi kekecewaan yang mendalam seperti menurunkan ekspektasi, atau menjadi lebih spontan dan flexible dalam perencanaan ataupun harapan. Namun untuk orang-orang yang terlanjur larut dalam kekecewaan, apa yang harus dilakukan?
Sublimasi Sebagai Mekanisme Pertahanan Diri
Sigmund Freud, seorang pakar psikoanalisis menyatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki beberapa mekanisme pertahanan diri baik secara sadar maupun tidak sadar yang terbentuk berdasarkan pengalamannya masing-masing. Salah satunya adalah sublimasi. Mekanisme ini mengubah hal buruk menjadi hal baik yang lebih bisa diterima oleh diri sendiri ataupun orang lain. Sebagai contoh, seorang musisi akan menyalurkan kekecewaannya pada sebuah karya lagu, atau seorang pelukis akan menyalurkannya dengan karya lukis.
Saat Sahabat Goodlife mengalami hal ini, alangkah baiknya kalau kalian meluangkan waktu sejenak untuk melakukan sesuatu yang kita sukai. Do something that makes you have fun!!! Jadikan hal tersebut menjadi sebuah karya. Sesuaikan hal ini dengan potensi yang Sahabat Goodlife miliki. Karya gak melulu sebuah benda, kalau Sahabat Goodlife hobi olahraga, pecahkan saja rekor yang pernah kalian buat sebelumnya dan gantikan dengan rekor yang baru. Karena sublimasi bisa menggantikan kekecewaan menjadi sebuah kepuasan.
Mengubah emosi negatif seperti kecewa menjadi sebuah karya adalah hal baik dan tentu akan menjadikan diri lebih produktif dan bermanfaat bagi orang lain. Terlepas dari diakui atau tidaknya karya kita, yang jelas hal tersebut sudah sangat membantu diri kita sendiri untuk terlepas dari jerat kekecewaan yang berlarut-larut dan mendalam yang tentu menghabiskan energi kehidupan kita.
Tulisan ini adalah kiriman dari contributor, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.