Sebelum Marak Aplikasi Jodoh, ini Dia Tradisi Cari Jodoh Asli Indonesia

Perjodohan saat ini mungkin sudah dianggap ketinggalan zaman. Tapi di Indonesia sendiri, tradisi perjodohan adalah salah satu budaya yang pernah mengakar kuat sehingga sampai sekarang beberapa kelompok masyarakat masih melestarikan tradisi ini. Beberapa daerah bahkan punya ritual sendiri untuk cari jodoh dan ada yang dirayakan dengan sangat meriah.

Tak semua perjodohan dibalut dengan pemaksaan, karena ada juga kondisi dimana kaum wanita berhak untuk menolak cinta si pria. Berbekal adat yang sudah diwarisi turun-temurun, tradisi cari jodoh di Indonesia menawarkan beragam keunikan. Apa saja?

Konde tompa

Tradisi mencari jodoh ini berasal dari Toandona di Buton Tengah dan dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri. Prosesi diawali oleh keluarga gadis yang menyiapkan makanan tradisional dan meletakkannya di atas nampan. Para gadis kemudian menunggui nampan tersebut dan menunggu kedatangan para pria. 

Para pria yang datang kemudian akan masuk dan duduk di depan gadis-gadis tadi. Pada kesempatan itu mereka akan berbincang, sambil si gadis menyuapkan makanan pada sang pria. Jika cocok mereka akan melanjutkan hubungan.

Kamomose

Masih dari Pulau Buton, tradisi kamomose ini sangat unik. Para gadis yang yang sudah siap menikah akan berbaris rapi sambil memegang wadah untuk menampung kacang yang dilemparkan para pria. Setelah itu, si pria akan berputar mengelilingi barisan para gadis sambil melempar kacang ke gadis idaman mereka. Selanjutnya para gadis bisa memilih untuk melanjutkan ke langkah perkenalan selanjutnya atau tidak.

Ngarot

Tradisi ngarot sebetulnya merupakan ungkapan syukur warga Indramayu atas hasil panen kedua menjelang musim tanam. Namun, upacara ini sekaligus juga dijadikan ajang pria lajang dan gadis untuk mencari jodoh.

Acara dimulai dengan berkumpulnya warga di balai desa, dilanjutkan arak-arakan keliling desa. Para gadis mengenakan kebaya lengkap dengan hiasan bunga di rambut mereka, sementara para pria mengenakan busana tradisional yang tak kalah menarik. Setelah arak-arakan, mereka akan kembali ke balai desa untuk mendapat nasihat agar para pemudi dan pemuda harus saling membantu dan bergotong-royong dalam mengolah pertanian.

Momen inilah yang sering dijadikan kesempatan para gadis dan pria untuk saling kenal dan mencari jodohnya.

Para gadis dengan hiasan bunga di kepala saat merayakan tradisi ngarot di Indramayu. (Foto: diskominfo.indramayukab.go.id)

Omed-Omedan

Omed-omedan dalam bahasa Bali bermakna tarik menarik. Tradisi yang sudah dimulai sejak abad ke-17 ini berlangsung di Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar, dan dilakukan setiap tahun setelah Hari Raya Nyepi.

Awalnya, kelompok pria dan kelompok wanita lajang berjalan menuju lokasi yang sudah dibasahi air dengan iringan tarian. Kedua kelompok ini kemudian dipertemukan di tengah-tengah kerumunan masyarakat dengan posisi saling berbaris ke belakang. Pria dan gadis yang di depan kemudian harus saling berpelukan dan teman-temannya di belakangnya menariknya supaya terlepas. Jika keduanya sulit dilepaskan, maka warga akan menyiramnya dengan air.

Tradisi ini sebetulnya menyimbolkan rasa saling menghargai dan melindungi yang kuat dan bukan untuk semata-mata mencari jodoh saja

Pria dan gadis yang saling berpelukan dalam ritual Omed-omedan di Denpasar. (Foto: IG @duckferries)

Gredoan

Masyarakat Using di Banyuwangi juga memiliki tradisi mencari jodoh unik yang disebut gredoan dan dilakukan pada setiap malam perayaan Maulid Nabi. Dalam bahasa setempat, gredoan berarti menggoda. 

Memulai acara, warga kampung akan berkumpul, termasuk para pria lajang. Parai pria kemudian akan memasukkan sebatang lidi ke celah dinding bambu di dapur rumah sang gadis. Jika si gadis berkenan, ia akan memberi balasan dengan menarik lidi, sementara jika tidak berkenan, si gadis akan mematahkan lidi tersebut. Jika diterima, si pria dibolehkan bertamu dan berkenalan dengan orang tua dan keluarga si gadis.

Kabuenga Wakatobi

Kabuenga, yang berarti ayunan, merupakan tradisi pencarian jodoh di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tradisi yang diadakan setahun sekali ini berawal ketika para pria lajang warga Wakatobi jarang bertemu gadis-gadis karena harus pergi berlayar. Pulang berlayar, para pria ini akan disambut gadis-gadis yang membawakan minuman. Saat itu juga menjadi kesempatan bagi mereka untuk saling mengenal dan mencari kecocokan.  

Jika cocok, mereka bisa melanjutkan hubungan ke pelaminan. Pasangan yang sudah berikrar untuk menjalin hubungan ini kemudian akan diantar ke ayunan yang sudah disiapkan. Setelah itu mereka akan diayun oleh pemangku adat sambil dinyanyikan syair dan pantun. 

Salah satu kekayaan Indonesia adalah budaya yang beragam, termasuk soal perjodohan. Bila diperhatikan, tradisi-tradisi ini tak hanya mempertemukan pria dan wanita sebagai jodoh, tapi lebih kepada nilai saling menghormati dan memperkuat hubungan sosial.

Memang saat ini tradisi perjodohan ini lebih berperan sebagai daya tarik pariwisata, namun rasanya menarik juga untuk mengetahui makna kearifan lokal yang ada di balik ritual tersebut.