Self-Healing, Seberapa Perlu dan Bagaimana Cara Tepat Melakukannya?

Wanita Memegang Kepala

Saat ini banyak orang yang menyatakan bahwa dirinya perlu melakukan self-healing untuk melepaskan beban stres yang dirasakan. Padahal tidak semua aktivitas melepas stress bisa dikatakan sebagai self-healing.

Pada prinsipnya yang dimaksud dengan healing sendiri adalah proses yang membuat kita menjadi lebih baik akibat dari suatu kejadian atau insiden di waktu sebelumnya. Dari sini, konteks healing bisa dilihat secara lebih spesifik lagi.

“Ada healing jangka pendek, menengah dan jangka panjang,” terang Dr. Bimo Wikantiyoso, Psi, founder dari Matala.id saat berbincang dengan Goodlife.

Healing dalam jangka pendek umumnya terjadi karena hal yang sifatnya lebih spontan, seperti putus cinta. Sementara healing jangka menengah lebih kepada perenungan hal yang lebih serius, seperti mempertanyakan apakah sudah bahagia dengan pernikahan saat ini atau mempertanyakan karir yang sedang dijalani saat ini.

fenomena revenge tourism
Healing untuk memperbaiki kondisi dari suatu kejadian buruk atau insiden (Foto: Pexels)

Sementara untuk jangka panjang, healing bisa diuraikan lebih kompleks lagi. “Perlu kita ingat bahwa pada prinsipnya manusia itu selalu mencari hal yang familiar, bukan hal yang paling benar. Jadi kita sering terjebak pada masalah dari pola yang kita ciptakan sendiri,” terang Bimo.

“Ini adalah healing dalam skala yang jangka panjang, dimana kita sendiri sebetulnya bingung mau sembuh dari apa. Healing dari suatu masalah atau healing dari masalah yang sudah kita bentuk sendiri polanya,” tambahnya.

Bimo mencontohkan ada orang yang sangat perfeksionis dalam bekerja sehingga ia pada akhirnya mengalami kelelahan sehingga performa kerjanya menurun. Saat menurun, ia merasa stress dan butuh healing. Setelah healing ia kembali segar dan performa kerjanya meningkat dan menjadi perfeksionis lagi. Setelah itu ia kelelahan dan terus kembali pada pola yang sama seperti sebelumnya.

“Secara tidak sadar, kita membentuk pola sendiri dan pola inilah yang membuat kita merasa butuh healing, akhirnya kita sendiri sebetulnya tidak tahu mau healing dari apa,” terang Bimo.

Kondisi seperti ini kadang membuat orang juga menjadi terjebak pada pola masalah yang diciptakannya sendiri dan pada dasarnya healing yang dilakukan juga tidak bisa dikatakan sebagai self-healing karena memang tidak menyembuhkan apa-apa dan tidak membuat orang jadi lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Kadang kita sendiri justru membuat pola yang membuat hidup jadi bermasalah (Foto: Pexels)

Cara Tepat untuk Self-Healing

Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita melakukan self-healing yang tepat? Menurut Bimo, healing sebetulnya adalah sesuatu yang dilakukan secara rutin. “ Tidak perlu banyak-banyak tapi yang penting rutin,” terangnya.

Healing juga bisa diumpamakan seperti olahraga rutin yang dilakukan setiap hari. Kalau olahraga bertujuan untuk kesehatan fisik, self-healing dilakukan untuk menjaga kesehatan mental.

Ada banyak cara untuk melakukan self-healing, seperti menyediakan waktu sejenak untuk merenung apakah hari ini kamu sudah bahagia, apakah hari ini kamu sudah melakukan pekerjaan yang terbaik dan lain-lain. Metode self-healing juga bermacam-macam, seperti metode ilmiah yang menggunakan jasa psikologi hingga melakukan meditasi dan yoga untuk menenangkan pikiran sekaligus menjaga kelenturan fisik.

Yang terpenting adalah mengenali dulu masalahnya sehingga tahu persis ketika melakukan healing ingin sembuh dari persoalan apa dan menjadi lebih baik dari kondisi seperti apa.

Self-Healing yang Kurang Tepat

Ada berbagai aktivitas yang saat ini sering disebut sebagai healing namun sebetulnya bukan dan bahkan menimbulkan masalah baru yang pada akhirnya tujuan dari healing tidak tercapai. Salah satu yang dicontohkan Bimo adalah impulsive buying atau belanja berlebihan untuk merilis stress.

Impulsive buying ini adalah bagian dari FOMO (Fear of Missing Out) dan ini berbahaya,” terang Bimo. Artinya, aktivitas untuk belanja berlebihan ini secara tidak langsung didorong oleh kekuatan iklan yang dilihat saat beraktivitas sehingga orang menjadi takut untuk kehilangan kesempatan membeli barang tersebut.

Belanja berlebihan bukan healing (Foto: pexels)

“Industri kreatif memang bertugas untuk membuat iklan yang meyakinkan orang supaya belanja saat itu juga,” terang Bimo. “Pada akhirnya orang merasa lega (healed) ketika sudah belanja atau ketika merasa tuntutan-tuntutan dari iklan ini sudah terpenuhi,” tambahnya.

Jadi, apa yang dikira sebagai healing sebetulnya bukan demikian dan bahkan menimbulkan masalah baru, seperti pengeluaran yang boros dan tidak bisa menabung.

Kemudian ada juga layanan jasa yang menyediakan ruang dan waktu untuk menghancurkan barang-barang sepuasnya untuk melepas stress. Ini memang ide yang bagus sebagai bagian dari proses healing tapi sebetulnya kurang tepat dikatakan sebagai self-healing.

“Setidaknya ini bisa menjadi semacam pengobatan darurat. Setidaknya rasa marahnya dikeluarkan dulu sampai habis,” terang Bimo. “ Tapi secara keseluruhan ini bukan healing, tapi lebih ke metode emergensi untuk melepas stress,” tambahnya.

Bimo mencontohkan bahwa banyak terjadi kasus KDRT dan perceraian ketika masa pandemi lalu. Ini bisa terjadi karena saat itu tidak ada akses untuk melepas energi negatif atau stress. “Sementara masa pandemi itu bikin orang stress karena pekerjaan jadi tak pasti. Akhirnya akses untuk mengeluarkan stress adalah dengan kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian,” terangnya.

Dengan semakin dinamisnya dunia kerja dan meningkatnya kesibukan, self-healing adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Namun melakukan self-healing yang tepat juga tidak bisa sembarangan.

Kamu bisa ketahui tentang self-healing lebih jauh dengan menyimak obrolan Goodlife dengan Dr. Bimo Wikantiyoso, Psi di akun Instagram @_goodlifeid_ dengan topik “Mau Healing Malah Pusing, Kok Bisa?”