Konsumsi makanan sehat saat ini mulai diminati banyak orang. Tak hanya makanan yang bernutrisi saja, tapi juga bahannya yang juga harus alami. Itu sebabnya East Java & Co berkomitmen untuk menggunakan bahan-bahan organik sebagai bahan utama produknya.
East Java & Co sendiri menurut Sri Puji Lestari Djo, Operation and Sales East Java & Co, sejak pertama kali beroperasi pada 2016 memang sudah berfokus pada bahan-bahan organik yang terbaik sesuai dengan daerah dimana bahan tersebut berasal.
“Produk kami itu berdasarkan origin daerah masing-masing. Contohnya untuk blackpepper itu yang bagus dari Lampung dan Kendari,” terang Djo saat berbincang dengan Goodlife. “Kita juga ada selai, salah satunya berbahan stroberi yang kita ambil dari Bandung. Karena stroberi di daerah ini memang bagus,” tambahnya.
Menurut Djo, semua bahan yang digunakan untuk mengolah produk adalah berasal dari Indonesia, kecuali untuk granola. “Kalau granola itu kita butuh oat dengan kualitas yang baik. Ini belum ada di Indonesia jadi kita masih ambil dari Australia,” terang Djo.
East Java & Co didirikan oleh Almira Yasmin Sanditya dan Leo Schwarz yang keduanya sama-sama antusias terhadap keragaman bahan makanan Indonesia. Leo sendiri sudah berkeliling ke banyak lokasi di indonesia dan menemukan bahan-bahan makanan yang menarik dan berkualitas.
Kecintaan mereka akan bahan-bahan makanan yang alami inilah yang pada akhirnya menjadi alasan untuk mendirikan East Java & Co di Surabaya.
Tantangan Mengolah Makanan Organik
Makanan organik memang sudah diketahui manfaatnya buat kesehatan. Tapi ternyata, memproduksi bahan makanan organik dan alami memang bukan suatu hal yang mudah. Meskipun saat ini bisa dibilang konsumsi makanan organik sudah mulai diminati, namun tantangannya tetap tinggi.
Menurut Djo, makanan berbahan organik harus dimulai dari saat bahan makanan itu ditanam. Ini artinya harus ada edukasi dengan para petani terkait makanan organik. “Di Indonesia memang ada beberapa petani yang belum teredukasi tentang pangan organik. Kadang apa yang mereka tanam itu organik tapi mereka belum tahu kalau itu organik,” terang Djo.
Itu sebabnya East Java & Co kemudian bekerjasama dengan organisasi nirlaba yang berkoordinasi dengan petani lokal untuk memberikan edukasi tentang bahan organik. “Dari sini kemudian dibentuklah semacam koperasi untuk mempermudah kerjasama dengan kami,” terang Djo.
Djo kemudian mencontohkan para petani madu yang ada di Kalimantan. “Madu yang kami ambil dari Kalimantan ini berbeda karena madunya tidak diternakkan tapi dipanen dalam kondisi yang liar. Jadi petani harus cari sarang lebah di dalam hutan,” terang Djo.
Upaya ini menurut Djo adalah untuk mencari kualitas madu yang baik dan alami. “Lebah yang hidup liar di hutan itu makan bunga yang berbeda dari lebah ternak. Bunganya benar-benar dari tanaman liar, bukan bunga yang sengaja dipelihara dan diberi pupuk kimia. Jadi rasa madunya juga berbeda,” terang Djo. Hal ini juga yang menurut Djo menjadikan madu dari lebah liar itu masa panennya tidak sesering madu dari lebah ternak. “Dalam setahun mungkin hanya sekali panen saja kalau lebah liar,” terangnya.
Tantangan lain menurut Djo adalah untuk produk garam organik dari Amed, Bali. menurut Djo, saat ini peraturan pemerintah masih belum menyesuaikan kondisi kebutuhan gizi masyarakat Indonesia pada umumnya. “Garam yang dijual di Indonesia itu harus diberi kandungan yodium. Ini diatur oleh negara pada masa Orde Baru dulu dan sampai sekarang belum berubah. Padahal sekarang yodium bisa didapat dari bahan pangan lain dan saat ini gizi masyarakat kita sudah lebih baik dari dulu,” terang Djo. “Garam yodium bagi para chef juga dianggap bisa mengubah rasa masakan, jadi mereka ini biasanya tidak mau garam yodium,” tambahnya.
Jadi, garam dari East Java & Co saat ini masih diberi kandungan yodium karena mentaati aturan pemerintah. “Tapi garam yang dipesan secara khusus oleh para chef dan untuk hotel kami sama sekali tidak pakai yodium, jadi lebih alami sesuai permintaan mereka,” terang Djo.
Saat ini East Java & Co sendiri sedang mengusahakan agar peraturan tersebut bisa disesuaikan agar masyarakat Indonesia bisa menikmati garam organik yang alami.
Konsumen Indonesia Mulai Minat Bahan Organik
Selain memiliki tantangan pada proses produksi, menurut Djo menanggapi respon masyarakat Indonesia juga ada tantangannya sendiri. Masalahnya, banyak orang yang belum terbiasa menggunakan bahan organik untuk pangan.
“Seperti produk madu kami itu kadang dipertanyakan pelanggan karena warnanya berbeda. Jadi kami jelaskan juga bahwa madu itu diolah dengan cara tradisional dan tidak ada tambahan pewarna, pengawet dan pemanis, sehingga untuk warnanya tidak bisa diseragamkan seperti produk dari mesin pabrik,” terang Djo.
Namun pada umumnya Djo sendiri melihat bahwa respon masyarakat Indonesia terhadap makanan organik cukup baik. Terlebih saat ini semakin banyak ditemukan kasus penyakit kronis seperti diabetes, kolesterol dan hipertensi akibat asupan makan yang tidak terjaga.
“Kalau dulu orang hanya ikut-ikutan makan organik. Sekarang karena campaign makanan organik juga makin banyak, jadi orang mulai sadar kalau makanan organik itu penting untuk kesehatan,” terang Djo.
Banyak Pilihannya
East Java & Co saat ini memiliki beberapa produk, seperti untuk sarapan yaitu selai (nanas dan markisa, nanas dengan rosemary dan vanila, serta stroberi), granola, dan teh dari Jawa Barat. Selain itu ada juga beras organik, garam organik, dan ragam bumbu-bumbuan yang dikemas dengan cara freeze dried.
“Teknik freeze dried ini berguna untuk menjaga aroma dan warna dari bumbu supaya tidak pudar,” terang Djo.
Menurut Djo, produk yang sangat diminati saat ini adalah madu, garam dan bumbu-bumbuan, seperti sereh, daun salam, oregano, dan peterseli. Penjualannya selain online juga sudah melalui beberapa supermarket berkelas premium.
Kamu bisa mengakses website East Java & Co untuk informasi lebih jauh atau melalui akun Instagram @eastjavaco.