Benarkah Media Sosial Picu Sifat Egoisme pada Masyarakat Urban?

gadget

Di era yang serba digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi masyarakat urban.

Dengan hanya beberapa kali ketukan di layar ponsel, seseorang bisa terhubung dengan ribuan bahkan jutaan orang lain di seluruh dunia. Namun, dibalik kemudahan akses dan konektivitas yang ditawarkan, muncul pertanyaan penting: apakah media sosial bisa memicu sifat egoisme?

Egoisme Menjangkiti Masyarakat Urban?

Egoisme, dalam konteks ini, diartikan sebagai sikap yang menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. Di media sosial, manifestasi egoisme bisa dilihat dari bagaimana seseorang terobsesi dengan pencitraan diri, jumlah like, dan pengikut. Bukan rahasia lagi bahwa banyak orang menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyunting foto atau video agar terlihat sempurna di mata pengikutnya. Fenomena ini bukan hanya tentang keinginan untuk diterima sosial, tapi juga tentang kebutuhan untuk merasa superior.

Semua orang sibuk dengan media sosialnya sendiri-sendiri (Foto: Pexels)

Hubungan antara egoisme dengan kebiasaan menatap layar ponsel dan media sosial sangat erat. Saat kamu menatap layar ponsel, dunia nyata seakan-akan menghilang dan yang tersisa hanyalah kamu dan dunia virtualmu. Media sosial, dengan semua fiturnya, dirancang untuk membuatmu terus menerus terlibat. Algoritma media sosial memahami apa yang kamu sukai dan memberikan lebih dari itu, menciptakan gelembung yang membuatmu merasa bahwa dunia berpusat pada dirimu sendiri. Ini, secara tidak langsung, memperkuat sifat egoisme.

Mengurangi Empati

Selain itu, interaksi di media sosial seringkali bersifat satu arah. Kamu memposting sesuatu dan menunggu validasi dari orang lain dalam bentuk like dan komentar. Interaksi ini kurang memerlukan empati atau pemahaman mendalam tentang keadaan orang lain, berbeda dengan komunikasi tatap muka. Akibatnya, media sosial dapat mengurangi kemampuan untuk berempati, yang merupakan aspek penting dalam mengatasi egoisme.

Namun, penting untuk diingat bahwa media sosial itu sendiri bukanlah akar dari egoisme. Media sosial hanyalah alat, dan bagaimana alat tersebut digunakan bergantung pada individu. Ada banyak contoh bagaimana media sosial digunakan untuk tujuan yang baik, seperti menggalang bantuan untuk yang membutuhkan atau menyebarkan kesadaran tentang isu penting.

Untuk mengurangi dampak negatif media sosial terhadap egoisme, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, sadari batasan antara kehidupan nyata dan dunia virtual. Kedua, gunakan media sosial secara lebih sadar dan bertanggung jawab, dengan mengingat bahwa di balik layar terdapat manusia lain dengan perasaan dan kebutuhan. Ketiga, alokasikan waktu untuk interaksi tatap muka, yang dapat membantu mengembangkan empati dan mengurangi egoisme.

Kesimpulannya, media sosial memang bisa memicu sifat egoisme, terutama dalam masyarakat urban yang serba cepat dan terfokus pada diri sendiri. Namun, dengan penggunaan yang bijak dan bertanggung jawab, kita bisa meminimalisir dampak negatif tersebut. Ingatlah bahwa di balik semua post dan like, interaksi manusia yang autentik dan penuh empati tetaplah yang paling berharga.