Menjadikan media sosial sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari adalah hal yang biasa saat ini. Banyak hal positif yang bisa dikerjakan dengan bantuan media sosial, namun jangan lupa bahwa media sosial juga punya dampak negatif yang biasanya tidak kita sadari. Salah satunya adalah perilaku narsistik.
Sulastry Pardede, M.Psi., Psikolog dari Rumah Sakit St. Carolus Jakarta berbagi informasi kepada Goodlife di sesi IG Live Talks dengan tema “Pengaruh Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental (Narsistik)” yang diadakan pada Selasa, 23 Maret 2021 di akun Instagram @_goodlifeid_ dan @rscarolusjakarta.
Apa itu Narsistik?
“Narsistik adalah salah satu upaya orang untuk mendapatkan perhatian, menunjukkan pada orang lain bahwa kitalah yang terbaik,” terang Sulastry membuka perbincangan. “Salah satu contohnya adalah dengan posting banyak foto di media sosial hanya untuk mendapatkan likes, atau apresiasi lainnya di media sosial,” tambahnya.
Perilaku ini menurut Sulastry juga disebabkan karena kontrol diri yang rendah. “Kalau kontrol dirinya bagus, biasanya hanya upload foto yang penting saja dan tidak ada niatan untuk mencari perhatian atau sensasi,” jelas Sulastry.
Kontrol diri adalah kemampuan untuk menyusun, membimbing dan mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah yang positif. Seseorang yang punya kontrol diri yang baik akan mampu untuk tetap menggunakan akal sehat. Sebaliknya kontrol diri yang rendah cenderung berakibat pada konsekuensi yang negatif.
Lalu, apa saja dampak negatif dari perilaku narsistik ini?
Menurut Sulastry ada beberapa hal yang biasanya tidak disadari sebagai dampak dari narsistik di media sosial, seperti:
- Mudah diikuti pelaku kriminal
Saking seringnya posting foto dalam semua aktivitas harian, bisa saja seseorang yang punya niat jahat sedang memantau dan membuka kesempatan untuk melakukan tindak kriminal. “Posting foto liburan sebanyak mungkin. Yang jelas aktivitasnya bisa mudah diikuti orang jahat,” terang Sulastry. “Sebenarnya, dengan mengungkap banyak hal pribadi ke media sosial akan membuka peluang bagi banyak orang untuk berbuat jahat pada kita. Ini yang tak disadari banyak orang,” tambahnya.
- Mudah merasa minder
Orang-orang narsistik biasanya haus akan pujian dan apresiasi sehingga akan melakukan apa saja demi mendapatkan pujian dari orang lain. “Mereka ini umumnya kurang perhatian, jadi wajar saja kalau misalnya sering mengubah wajahnya di media sosial jadi lebih cantik supaya banyak dipuji,” terang Sulastry. “Tanpa sadar, ini juga menjadikan mereka cepat merasa minder bila apa yang mereka posting tidak mendapat respon seperti yang diinginkan,” tambahnya.
- Tak ada privasi
Sulastry mencontohkan bagaimana dulu orang menulis jurnal yang bersifat pribadi. Tapi saat ini remaja cenderung menulis jurnalnya di media sosial yang bisa dilihat publik. “Akibatnya orang jadi mudah tahu identitas orang lain dengan sangat mudah,” terang Sulastry.
- Risiko ancaman pedofil
Ini biasanya terjadi dengan seringnya orang tua mengunggah foto anak-anaknya yang tanpa busana di mana menjadi kesempatan untuk disalahgunakan oleh orang-orang yang mengidap pedofilia (penyimpangan seksual yang tertarik pada anak-anak di bawah usia remaja).
Lalu, hal apa saja yang bisa dijadikan indikator kalau seseorang memang sudah tergolong dalam kondisi narsistik?
Menurut Sulastry, ada penelitian yang menjelaskan bahwa seseorang bisa dikatakan narsistik bila:
- Tujuan untuk memposting foto di media sosial adalah untuk kepentingan pribadi saja, seperti mengharap likes dan komen yang banyak.
- Posting foto lebih dari 10 kali dalam sehari.
- Tujuannya untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain dan menunjukkan bahwa kita yang terbaik.
Pentingnya Peranan Keluarga
Perilaku narsistik sebenarnya bisa dicegah dengan cara sederhana. Menurut Sulastry, keluarga adalah langkah awal dari seseorang untuk bisa terhindar dari perilaku narsistik. Orang yang perilakunya berlebihan di media sosial bisa berawal dari perlakuan yang diterimanya di rumah.
“Ada orang tua yang tidak bisa memberikan penjelasan tentang kekurangan anaknya. Jadi hanya dipuja-puja saja,” tegas Sulastry. Sikap inilah yang bisa memicu munculnya perilaku narsistik di kemudian hari, yaitu menganggap dirinya paling baik, tidak bisa menerima kritik dan selalu ingin menonjolkan dirinya sendiri.
Mengatasi kondisi seperti ini, Sulastry mengingatkan pentingnya fungsi keluarga. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai keluarga bila seseorang sudah terjebak dalam kondisi narsistik:
- Menerima kondisinya dan menjaga hubungan dengan baik.
- Menerima kekurangan diri sendiri dalam keluarga.
- Memberikan rasa hormat sesama anggota keluarga.
- Belajar menerima kritikan.
Sulastry juga menambahkan bahwa orang yang berperilaku narsistik tidak boleh disalahkan atau disudutkan. “Mereka ini kadang butuh didengarkan dan diapresiasi. Karena di dunia nyata mereka mungkin tidak mendapatkannya,” jelasnya.
Sebagai orang tua juga bisa melakukan hal pencegahan pada anak-anak agar nantinya tidak terjebak dalam perilaku narsistik di media sosial, seperti tetap memberikan dukungan pada anak meskipun penampilannya tidak sempurna.
“Kita justru harus support kelemahannya, jangan paksakan anak untuk jadi yang sempurna,” tegas Sulastry.
Waspada Penggunaan Gadget Pada Anak
Sulastry juga menegaskan bahwa saat ini orang-orang yang dianggap masuk kategori narsistik adalah mereka yang berada di usia remaja. Ini sebabnya kenapa orang tua sekarang juga dituntut untuk bisa menjaga anak-anaknya agar nantinya tidak terjebak kondisi narsistik. Salah satu caranya adalah dengan membatasi penggunaan gadget pada anak. Berikut adalah panduannya:
- 0-1 tahun: sama sekali tidak direkomendasikan menggunakan gadget
- 1-2 tahun: mulai diperkenalkan dengan video call.
- 2-5 tahun: tidak lebih dari 1 jam. Lebih sedikit lebih baik.
- 5-12 tahun: tidak lebih dari 2 jam dengan pengawasan orang tua.
Sulastry juga menegaskan bahwa pengertian ‘gadget’ sering kurang dipahami orang tua. “Banyak yang mengira gadget itu hanya handphone. Padahal televisi, komputer dan tablet juga termasuk gadget,” kata Sulastry.
Tanya Jawab Seputar Narsistik
Sesi IG Live Talks ini juga mendapat respon menarik dari audiens, yaitu dengan banyaknya pertanyaan seputar penggunaan media sosial dan perilaku narsistik yang dijawab langsung oleh Sulastry Pardede, M.Psi., Psikolog. Beberapa pertanyaannya adalah:
- Apa bedanya perilaku narsis dengan kepribadian narsistik?
Narsis hanya merujuk pada sebatas perilaku saja. Sedangkan narsistik sudah mengarah pada gangguan atau psikopatologi.
- Apa bedanya narsistik, egois dan self-love?
Self-love adalah mencintai diri sendiri, sedangkan narsistik adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan. Egois adalah sikap tidak mau tahu, sedangkan narsistik lebih kepada mengagung-agungkan diri sendiri sehingga menganggap yang lain tidak sebaik dirinya.
- Adakah kaitannya antara narsistik dengan harga diri seseorang?
Tentu saja ada. Semakin banyak posting di media sosial dan semakin banyak likes atau follower yang didapat maka orang akan semakin senang.
- Untuk profesi influencer, bagaimana bedakan narsistik dengan kebutuhan kerja?
Influencer tidak masalah untuk posting banyak hal di media sosial selama ini memang untuk kebutuhan kerja. Sedangkan kalau narsistik adalah untuk kepentingan pribadi.
- Cara menghadapi orang narsistik di media sosial, namun di dunia nyata biasa saja?
- Menerima mereka pada adanya di dunia nyata
- Bisa memberikan pujian dulu atas apa yang ada di media sosialnya, baru kita ajak bicara agar mereka makin percaya diri di dunia nyata
- Menawarkan diri kita sebagai teman bicara.
- Batasan apa yang mengindikasikan orang narsistik butuh bantuan medis?
Kalau perilakunya dirasa sudah mengganggu orang lain dan menimbulkan komplain.
Nah, bagi Sahabat Goodlife yang ingin tahu lebih lengkap tentang topik “Pengaruh Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental (Narsistik)” bersama Sulastry Pardede, M.Ps., Psikolog dari Rumah Sakit Saint Carolus Jakarta, bisa menyimak IGTV di akun Instagram @_goodlifeid_ atau di akun Youtube HIDUP TV.