Cancel Culture, Tren Boikot yang Bikin Sakit Mental

kesehatan mental

Istilah cancel culture mungkin baru beberapa tahun belakangan ini jadi populer. Tren yang mulai merebak berkat adanya media sosial ini tanpa disadari sebetulnya berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan cancel culture? Jadi, cancel culture adalah tindakan ikut-ikutan memboikot seseorang yang dianggap melakukan sebuah kesalahan yang bersifat masif. Tindakan ini biasanya juga diikuti oleh sikap menarik dukungan dari sosok tersebut karena dianggap telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Media Sosial Biang Keladinya

Tindakan cancel culture biasanya berawal dari media sosial dan kemudian berdampak semakin besar pada banyak orang untuk ikut melakukan tindakan tersebut. Target dari cancel culture biasanya adalah orang-orang terkenal, seperti politisi, artis, atlet dan tokoh publik lainnya yang dianggap populer.

Pada dasarnya, menurut Alodokter sebelum seseorang melakukan tindakan cancel culture pada orang lain,  ada 3 proses psikologis yang terjadi pada dirinya, yaitu:

  • Menyadari adanya hal-hal negatif pada korban
  • Timbul emosi negatif, seperti marah, kecewa, kesal dan sedih
  • Merasa harus menghukum korban karena kesalahan atau tindakannya

Cancel culture pada dasarnya menuntut adanya perubahan pada sebuah kondisi untuk menjadi lebih baik. Ada banyak hal seperti kekerasan, rasisme hingga berbagai perilaku tidak etis yang saat ini diikuti dengan tindakan cancel culture.

Dengan berkembangnya media sosial, cancel culture menjadi semakin populer. Ini karena dengan media sosial, seseorang bisa ketahui tindakan apa yang sedang dilakukan selebriti tertentu atau calon korban cancel culture

Namun selain itu berkat adanya media sosia juga, cancel culture juga bisa dijadikan momen agar selebriti atau tokoh publik tidak berperilaku atau berbicara seenaknya yang berpotensi menyinggung orang lain.

Tindakan cancel culture banyak dilakukan berkat media sosial (Foto: Pexels)

Dampak Cancel Culture Pada Kesehatan Mental

Tindakan cancel culture meskipun banyak dilihat sebagai tindakan yang tepat untuk memberikan efek jera pada orang yang jadi korbannya, namun beberapa orang tetap tidak bisa menerima dan menganggap bahwa tindakan ini justru berdampak buruk pada kesehatan mental. Seperti: 

Berujung bullying

Pada dasarnya cancel culture hanya tindakan untuk memboikot orang tertentu, namun sekarang tak sekadar itu. Cancel culture tidak cuma sekadar melakukan bokiot dan menarik dukungan, tapi juga melakukan bullying pada targetnya. Tindakan bullying ini juga bisa mengakibatkan terjadi depresi, merasa terkucilkan hingga stress berkepanjangan.

Dampaknya, kondisi ini bisa membuat orang jadi stress, depresi dan bahkan bisa memicu tindakan bunuh diri.

Dampak bagi pelakunya

Hal penting yang harus kamu ketahui adalah bahwa cancel culture tidak akan mengubah apapun dan tidak akan membuat orang menjadi jera atau tidak mengulanginya lagi, kecuali kamu adalah orang dekat dengan target cancel culture tersebut.

stress
Cancel culture berujung depresi dan tidak menyelesaikan masalah (Foto: Pexels)

Ironisnya lagi, kadang orang yang menjadi korban cancel culture justru akan semakin populer dan semakin kuat mempertahankan apa yang sudah dilakukan atau dikatakannya, sehingga upaya cancel culture pada dirinya justru tidak membuahkan hasil apa-apa.

Kondisi ini justru memicu korban untuk semakin tidak memiliki rasa empati karena merasa semua orang memusuhinya. Sederhananya, korban cancel culture akan berpikir, “kalian tidak mengerti apa yang saya alami sebenarnya, lalu untuk apa saya harus memahami orang lain?”

Secara umum, cancel culture tidak sepenuhnya benar meskipun tindakan ini sudah banyak menghentikan berbagai tindakan atau ujaran kebencian yang merugikan. Cancel culture juga terbukti tidak efektif pada beberapa orang, jadi untuk apa dilakukan?

Alih-alih melakukan boikot ala cancel culture, lebih baik bersikap terbuka saat terjadi sebuah kondisi yang bertentangan dengan keyakinan kita, seperti misalnya mencoba melihat masalah dari sisi pelaku, menghargai perbedaan pendapat, menghindari asumsi atau meminta klarifikasi untuk memastikan hal atau kejadian yang sebenarnya.