Matcha mungkin kini akrab menemani ritme hidup serba cepat, padahal sejak awal ia diciptakan sebagai minuman yang mengajak kita melambat dan kembali pada ketenangan.
Matcha dikenal sebagai bubuk teh hijau yang menghadirkan ketenangan dalam setiap tegukan. Sebuah filosofi yang justru mulai kabur di tengah budaya hidup serba cepat sekarang ini. Padahal, secara tradisi maupun nutrisi, matcha bukanlah minuman yang diciptakan untuk memacu energi, melainkan untuk memperlambat langkah dan menata batin.
Dari Ritual Sunyi ke Gaya Hidup Modern
Sebelum menyatu dengan praktik Zen di Jepang, matcha sebelumnya sudah dikenal di Tiongkok yang kemudian dipopulerkan para biksu Buddha di Jepang sekitar abad ke 10. Para biksu ini menggunakan teh hijau yang ditumbuk halus ini untuk menemani meditasi panjang. Mereka percaya bahwa matcha mampu menghadirkan calm alertness (sebuah sensasi tenang namun tetap bikin fokus) berkat perpaduan kafein alami dan L-theanine, asam amino yang hanya ditemukan dalam tanaman teh yang diberi perlakuan khusus.
Upacara minum teh Jepang (chanoyu) kemudian membawa matcha menjadi ritual budaya yang memusatkan perhatian pada kesadaran, kesederhanaan, dan kehadiran utuh. Setiap gerakan, dari menakar bubuk hingga mengaduk dengan chasen, dilakukan dengan kehati-hatian dan hampir puitis. Di era tersebut, matcha bukan lagi sekadar minuman, tapi adalah sebuah momen. Sakral dan penuh ketenangan!

Dari Tradisi Minum Teh ke Coffee Shop
Ironisnya, di masa modern matcha justru menjadi bahan bakar rutinitas. Ia berubah menjadi “minuman ringan premium” yang disajikan cukup dalam cup plastik saja, hampa warisan budaya, tak ada nilai sakralnya, ditambahkan susu, gula, sirup, bahkan berbagai topping yang tak lagi bersifat menenangkan, jauh dari akar dan makna minuman ini. Matcha kini dinikmati sambil bepergian, sambil mengetik, sambil meeting, sambil terjebak macet; jauh dari filosofi ketenangan yang pernah mengelilinginya.
Dalam satu sisi, ini menunjukkan adaptasi kuliner yang dinamis. Matcha menjadi lebih mudah diterima, digemari, dan dinikmati siapa saja. Namun di sisi lain, ketika matcha dijadikan pendamping aktivitas, tujuannya sebagai penenang batin justru memudar. Minuman yang dahulu diciptakan untuk memperlambat aliran waktu yang membuat manusia tertekan, kini malah diminum sambil multitasking sembari konsumennya tetap mencari ketenangan, merindukan healing, atau sekadar ingin bernapas lebih dalam. Sangat ironis!
Matcha yang Semestinya
Salah satu alasan mengapa matcha terkenal sebagai minuman penenang adalah komposisi biokimianya. Sebagai seorang gastronomer yang meneliti matcha selama satu dekade, saya melihat bagaimana interaksi zat-zat dalam matcha kerap disalahpahami.
Beberapa poin ilmiah yang sering terabaikan:
- L-theanine memberikan efek relaksasi, tetapi bekerja optimal ketika tubuh tidak berada dalam tekanan tinggi atau aktivitas intensif.
- Kafein dalam matcha lebih lembut dibanding kopi, namun tetap meningkatkan fokus jika dikonsumsi dengan kesadaran dan pengaturan napas yang tenang.
- Antioksidan (EGCG) membantu menurunkan stres oksidatif, manfaat yang lebih terasa jika matcha diminum perlahan, bukan dalam dua tegukan sambil mengejar deadline.
- Kandungan klorofil dan serat halus mendukung metabolisme, tetapi tempo konsumsi sangat memengaruhi penyerapan dan respons tubuh.
Tubuh bekerja lebih harmonis ketika matcha dinikmati dalam keadaan rileks, perlahan, hangat, dan tanpa tergesa.
Di era di mana healing menjadi kata kunci, matcha justru kehilangan fungsi healing-nya.
Ironi ini begitu mencolok, di mana orang mencari ketenangan, tetapi minuman tradisi penenang itu diminum sambil mengejar ritme hidup yang terlalu cepat. Matcha diminum dengan es batu dengan peminumnya yang mengenakan kalung identitas penanda pekerja kantoran ibu kota yang membanggakan kesibukannya.
Padahal, mengembalikan matcha ke esensi awalnya tidak membutuhkan ritual rumit. Yang dibutuhkan adalah mindfulness sederhana:
- Luangkan dua hingga tiga menit untuk menyeduh.
- Rasakan aroma hijau yang khas.
- Minum perlahan, tanpa distraksi.
- Jadikan jeda sebagai bagian dari proses, bukan gangguan.
Matcha adalah minuman yang diciptakan untuk menghadirkan ketenangan. Dunia modern memang mengubahnya menjadi ikon gaya hidup, tetapi itu bukan alasan untuk melupakan akar filosofisnya. Di tengah kesibukan yang melelahkan, matcha dapat kembali menjadi ruang sunyi, selama kita mau menghormati ritme alaminya.



