Riskiyana Adi Putra, M.Psi., Psikolog
Nama Gilang seorang mahasiswa asal Universitas Airlangga mendadak viral karena terkuaknya kasus fetish kain jarik yang heboh diperbincangkan di dunia maya. Kehebohan bermula dari beberapa akun sos-med Twitter yang menceritakan pengalaman sejumlah korban dari Gilang. Dengan alasan untuk riset tugas akhir, Gilang meminta salah satu korbannya untuk membantunya pada riset tersebut. Korban yang merupakan junior di kampusnya, diminta untuk membungkus diri dengan kain jarik, sementara Gilang mengamati hal tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun FIB Airlangga, ada beberapa korban yang melapor, tapi tak bisa disebutkan identitasnya. Korban Gilang yang melapor, mayoritas adalah mahasiswa Unair. Namun, ada pula mahasiswa dari kampus lain.
Sebenarnya Apa itu Fetish?
Di dalam dunia psikologi istilah penyakit jiwa (mental disease / mental illness) tidaklah digunakan, istilah yang digunakan pada fetish itu sendiri adalah termasuk dalam gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder). Merujuk pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III (PPDGJ-III), fetish yang secara lengkap adalah disebut sebagai fetishisme termasuk dalam kategori gangguan preferensi seksual.
Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition (DSM-5), dengan pengertian yang serupa, fetish masuk dalam kategori paraphilic disorders dengan penulisan Fetishistic Disorders. Pengertian Fetish itu sendiri adalah menggunakan benda mati (non-living object) sebagai rangsangan untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual.
Umumnya benda-benda yang digunakan (objek fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia seperti pakaian dan sepatu. Pada batasan tertentu, fantasi fetishtik masih dianggap sebagai suatu hal yang wajar, diagnosis fetish ditegakkan apabila objek fetish benar-benar merupakan sumber utama dari rangsangan seksual, atau merupakan hal yang penting sekali untuk respon seksual yang menyenangkan. Pada beberapa kasus, fetish biasanya berhubungan dengan gangguan preferensi seksual lainnya dengan kombinasi yang sering muncul adalah fetishisme, transvestisme, dan sadomasokisme.
Penyebab Terjadinya Gangguan Fetish?
Kompleksitas yang rumit membuat penyebab terjadinya gangguan ini menjadi beragam dan berbeda-beda untuk setiap individu, namun secara garis besar banyak persamaan pada pengalaman masa lalu terkait seks tidak baik secara langsung ataupun tidak, baik sebagai korban ataupun sekedar menyaksikan hal tersebut di lingkungan sekitarnya. Mengacu pada faktor lingkungan, jika kita membuka mata dan pikiran, bisa kita lihat industri-industri film porno di dunia baik yang legal ataupun ilegal bahkan menjadikan gangguan preferensi seksual seperti fetish ini menjadi sebuah komoditas untuk meningkatkan pundi-pundi uang mereka.
Melihat gambaran sosok Gilang melalui sosmed ask.fm/GilangAprlNP miliknya, mungkin akan terlihat mengejutkan karena ternyata Gilang adalah merupakan sosok yang cerdas, menjadi anak paling muda di angkatannya karena mengikuti program akselerasi dan sudah berkuliah di Universitas Negeri pada usia 17 tahun. Gilang sendiri menceritakan kalau dirinya memiliki banyak musuh, haters, backstabbers, teman bermuka dua, pengkhianat, dan juga junior yang kurang ajar. Dirinya pun mengasumsikan setuju dengan pendapat orang lain yang menyatakan kalau dirinya memancarkan aura jahat ditambah dengan kesukaannya terhadap tokoh-tokoh jahat di film-film Disney, Marvel, dan DC, khususnya untuk tokoh-tokoh pada film Suicide Squad besutan DC.
Dilihat gambaran singkatnya, terasa cukup janggal namun tidak bisa dipungkiri ternyata sosok-sosok dengan gambaran seperti itu memang ada dan membaur hidup bersama di sekitar kita. Mungkin kasus Gilang ini hanya satu dari banyak permasalahan serupa yang tidak sampai terangkat ke permukaan, karena di Indonesia sendiri untuk saat ini masih dianggap tabu bagi sebagian orang untuk membicarakan hal-hal terkait seks.
Seks Edukasi Sejak Dini
Belajar dari kasus-kasus seperti ini alangkah baiknya jika kita memperkuat seks edukasi sejak dini, paling tidak dengan hal tersebut, bisa dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan-penyimpangan seperti pada kasus ini. Karena mencegah itu lebih baik daripada mengobati, khususnya untuk hal-hal terkait gangguan preferensi seksual yang jelas-jelas tidak ada obatnya, karena pada gangguan seperti ini yang harus dilakukan adalah memberikan intervensi klinis yang membutuhkan banyak waktu dan sangat tergantung pada derajat keparahan gangguan yang diderita dari tiap individu.
Tulisan ini adalah kiriman dari contributor, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.