Meningkatnya kembali kasus positif Covid-19 membuat pemerintah juga mempercepat pemberian vaksin kepada masyarakat. Antusias masyarakat cukup tinggi, namun masih banyak anggapan yang mengira merek vaksin tertentu lebih baik dari merek vaksin lainnya. Benarkah demikian?
Saat ini aktivitas vaksinasi Covid-19 masih giat berlangsung dengan menggunakan vaksin Sinovac dan AstraZeneca. Menyusul segera adalah Pfizer-BioNTech yang sudah mendapat izin dari pemerintah Indonesia. Apa saja yang membedakan vaksin-vaksin ini?
Memahami Varian Vaksin
Menurut dr. Ardeno Kristianto, SpPD, Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, perbedaan merek vaksin dan pengaruhnya pada setiap orang perlu dipahami dulu dasarnya. “Setiap merek vaksin itu dibuat dengan cara yang berbeda, termasuk juga dengan bahan pembuatannya,” terang dr. Ardeno mengawali perbincangan dengan Goodlife.
Vaksin AstraZeneca, misalnya. Awal penggunaannya di Indonesia, banyak orang yang menolak vaksin ini karena dianggap berbahaya dan punya efek samping yang sangat keras. “Awalnya banyak orang menolak diberi vaksin ini,” kata dr. Ardeno. “Tapi sekarang ini informasinya sudah cukup jelas. Apa perbedaannya dengan vaksin lain. Jadi sudah banyak yang mengerti dan mau divaksin,” lanjutnya.
Vaksin AstraZeneca sendiri diproduksi bersama oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca yang berbasis di Inggris. Vaksin ini punya efikasi sebesar 70% dengan jarak pemberian adalah 12 minggu. Efek samping dari vaksin AstraZeneca biasanya adalah:
- Nyeri di lokasi penyuntikan
- Sakit kepala
- Demam
- Mual hingga muntah
- Diare
Vaksin AstraZeneca bekerja dengan cara merangsang tubuh untuk membuat kekebalan atau antibodi. Vaksin ini juga dibuat dengan teknologi yang memanfaatkan virus hasil rekayasa genetika.
Menjawab anggapan bahwa AstraZeneca memiliki efek samping berupa pembekuan darah, dr. Ardeno menjelaskan bahwa sebenarnya dari penelitian memang ditemukan pembekuan darah, namun rasio kejadiannya 1:250.000. “Sangat kecil dan sedang dianalisa apakah ada kaitan dengan masalah lain,” terang dr. Ardeno.
Sedangkan vaksin Sinovac yang diproduksi di Cina menggunakan metode yang memasukkan virus yang sudah dimatikan atau inactivated virus. Setelah proses vaksinasi, virus yang sudah tidak aktif inilah yang akan membentuk antibodi dalam tubuh. Akibatnya, bila seseorang terinfeksi Covid-19, maka gejalanya tidak sampai parah. Biasanya efek samping yang ditimbulkan berupa nyeri otot, badan terasa pegal dan rasa nyeri di lengan tempat disuntik. Sinovac sendiri memiliki efikasi sebesar 65%.
Sementara vaksin Pfizer-BioNTech diketahui memiliki efikasi hingga 95%. Namun, kabarnya vaksin ini baru masuk Indonesia pada kwartal ketiga 2021. Vaksin hasil kerjasama perusahaan Pfizer dari Amerika Serikat dengan BioNTech dari Jerman ini dibuat dengan metode mRNA (messenger RNA) yang artinya vaksin ini akan memicu sistem imun untuk membentuk protein yang akan digunakan untuk membantu melawan virus Covid-19 yang masuk ke tubuh.
Sama seperti Sinovac dan AstraZeneca, Pfizer-BioNTech juga membutuhkan 2 dosis untuk diberikan. Gejala setelah vaksin biasanya berupa:
- Nyeri dan bengkak di bekas tempat disuntik
- Sakit kepala
- Demam
- Mual
- Bengkak di kelenjar getah bening
Lalu, mengapa setiap orang bisa mendapatkan efek samping yang berbeda setelah vaksin? Perbedaan teknis pembuatan vaksin juga menjadi salah satu sebab kenapa setiap orang mendapatkan pengaruh yang berbeda saat mendapatkan vaksin.
“Jelas berbeda, karena setiap vaksin dibuat dengan metode berbeda. Kondisi orang yang divaksin juga berbeda-beda,” terang dr. Ardeno. “Namun efek samping yang parah dan sampai menyebabkan kematian itu karena ada masalah tertentu, seperti misalnya komorbid yang tidak dilaporkan,” jelasnya.
Menanggapi adanya pemberian vaksin yang hanya satu kali, seperti vaksin dari Johnson & Johnson, dr. Ardeno menjelaskan bahwa memang memungkinkan untuk diberikan hanya 1 dosis saja. “Tapi lebih tepatnya, satu kali vaksin tersebut punya kemampuan yang hampir sama dengan dua kali pemberian vaksin seperti Sinovac,” terang dr. Ardeno.
dr. Ardeno juga mengingatkan untuk sebaiknya tidak mendapatkan vaksin yang berbeda jenis untuk menambah atau melengkapi efikasi dari vaksin sebelumnya. Saat ini memang ada data penelitian bahwa antibodi bisa terbentuk dengan adanya penyilangan vaksin antara AstraZeneca, Pfizer dan Moderna. Namun ini baru sebatas penelitian awal yang rencananya akan diaplikasikan di Eropa.
“Untuk di Indonesia, pelaksanaan vaksinasi tetap mengacu pada kebijakan pemerintah,” tegas dr. Ardeno
Selanjutnya dr. Ardeno juga mengingatkan bahwa dalam kondisi darurat seperti ini sebaiknya cukup mendapatkan 1 jenis vaksin saja. “Rasanya tidak etis untuk minta divaksin lagi dengan merek lain yang efikasinya lebih tinggi, karena yang belum kebagian vaksin juga cukup banyak,” terangnya.
Hal penting yang juga harus diperhatikan adalah apa yang harus disiapkan untuk menjalani vaksinasi ini, seperti:
- Pastikan bahwa tubuh dalam kondisi sehat saat menerima vaksin.
- Laporkan pada tim medis tentang riwayat kesehatan, seperti apakah mengalami alergi obat atau sedang menjalani pengobatan tertentu.
- Tidak mengkonsumsi kafein sebelum melakukan vaksinasi.
- Beritahu tim medis bila beberapa hari terakhir mengalami gangguan kesehatan seperti batuk dan pilek.
Memahami Varian Covid-19
Salah satu hal yang juga marak jadi perbincangan adalah merebaknya varian Covid-19 yang kabarnya lebih berbahaya dari sebelumnya. Banyaknya varian virus ini memang kadang membuat bingung untuk mengenalinya satu-per satu.
Namun, menurut dr. Ardeno nama-nama varian tersebut sebetulnya justru mempermudah untuk diingat, mengingat nama asli varian virus tersebut cenderung menggunakan kode angka yang justru sulit diingat.
Covid-19 varian Alpha
Dikenal juga dengan nama varian B117 yang diketahui berasal dari Inggris. Meskipun penderitanya akan memiliki gejala yang sama dengan Covid-19 yang biasa, namun varian ini diketahui bisa menular lebih cepat.
Covid-19 varian Beta
Dikenal juga dengan nama awal E484K, varian ini terdeteksi pertama kali di Afrika Selatan dan dikenal mampu mengelabui sistem kekebalan tubuh.
Covid-19 varian Delta
Varian yang aslinya bernama B.1.617.2 ini juga dikenal sebagai penyebab terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di India beberapa waktu lalu berkat kemampuan varian ini menghindari kekebalan tubuh.
Dalam hal ini dr. Ardeno juga mengingatkan bahwa dengan adanya beberapa varian Covid-19, banyak temuan pada pasien yang mendukung bahwa varian baru memang lebih menular, termasuk pada pasien yang sudah mendapatkan vaksin.
“Untuk itu, metode pencegahan utama terhadap Covid-19 adalah jangan lengah untuk tetap menjalankan protokol kesehatan, bahkan saat berada di lingkungan rumah,” terang dr. Ardeno.