Menghindari konsumsi produk hewani, diyakini oleh penganut gaya hidup vegan bisa meningkatkan kesehatan sekaligus bisa menjaga lingkungan dari perubahan iklim global. Tapi benarkah gaya hidup vegan bisa membuat lingkungan menjadi lebih baik?
Tren gaya hidup vegan mengalami peningkatan yang cukup signifikan di Indonesia beberapa tahun belakangan. Dilansir dari Gatra pada Mei 2023, secara statistik, komunitas vegan di Indonesia ada sekitar 25 juta orang.
Gaya hidup vegan sendiri dapat diartikan sebagai perilaku menghindari produk hewani untuk keperluan konsumsi makanan, pakaian, kosmetik, maupun tujuan lain. Itu artinya, pelaku hidup vegan tidak mengonsumsi daging, ikan, telur, dan juga susu serta proudk turunan hewani lainnya.
Ada beberapa alasan pelaku vegan menjalani pola hidup tanpa mengonsumsi makanan hewani, yaitu gaya hidup vegan dinilai mampu meningkatkan kesehatan manusia, melindungi kesejahteraan hewan, dan membantu menekan kerusakan pada lingkungan.
Seperti diketahui, diet berbasis tumbuhan atau plant based diet bisa mengurangi risiko diabetes tipe 2, penyakit jantung, hingga kanker.
Dampak gaya hidup vegan terhadap lingkungan
Gaya hidup vegan yang tidak mengonsumsi makanan atau produk olahan dari hewan diyakini menjadi salah satu cara menjaga kelestarian lingkungan.
Menurut laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovermental Panel of Climate Change atau IPCC), pertanian dan penggunaan lahan lainnya adalah penyebab utama ketiga emisi gas rumah kaca, setelah sektor energi dan industri.
Penggunaan lahan, termasuk pertanian, bertanggung jawab atas 13% karbon dioksida, 44% metana, dan 82% emisi nitro oksida antara tahun 2007-2016.
Sementara itu, PBB pada tahun 2010 juga melaporkan bahwa produk-produk hewani umumnya membutuhkan lebih banyak sumber daya dan mengakibatkan emisi gas rumah kaca lebih tinggi dibanding produk berbasis tumbuhan.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) juga memperkirakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas 14,5% dari semua emisi gas rumah kaca. Studi lain juga menemukan bahwa daging menyumbang hampir 60% emisi gas rumah kaca global.
Perlu diketahui, emisi gas rumah kaca ini menyelimuti bumi dan memerangkap sinar matahari sehingga membuat suhu bumi makin panas. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Melihat data di atas, menjalani gaya hidup vegan memang memiliki jejak karbon yang lebih rendah. Itu artinya, dengan mengadopsi gaya hidup vegan, kita berkontribusi menahan laju pemanasan global.
Ternyata, Tidak Semua Makanan Nabati Memiliki Dampak Lingkungan yang Kecil!
Melihat data di atas, tak ada keraguan jika daging dan peternakan berkontribusi sangat besar menghasilkan emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan pemanasan global.
Namun demikian, jika ingin menjalani gaya hidup vegan karena ingin menjaga kelestarian alam, kamu juga perlu memperhatikan bahwa tak semua makanan nabati memiliki dampak lingkungan yang kecil.
Seperti dilansir dari BBC beberapa makanan nabati ini juga berdampak kurang baik pada lingkungan.
Susu almond
Dibutuhkan 74 liter air untuk membuat satu gelas susu almond. Susu nabati lainnya, seperti susu beras juga boros air, dengan membutuhkan 54 liter air per gelas.
Alpukat
Beberapa sumber menyatakan dibutuhkan 227 liter air (60 galon) untuk menumbuhkan satu buah alpukat. Sumber lain menyebut dibutuhkan 824 liter air (183 galon) untuk per kilogram alpukat.
Kedelai
Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), kedelai merupakan penyebab deforestasi pertanian terbesar di dunia setelah daging sapi. Faktanya, hanya 6% kedelai yang ditanam untuk dikonsumsi manusia, sementara sekitar 81% ditanam untuk pakan ternak.
Minyak sawit
Minyak sawit merupakan bahan yang diperlukan untuk berbagai produk makanan seperti permen, margarin, es krim non susu, dan keju. Meningkatnya produksi minyak sawit menyebabkan deforestasi besar-besaran di dunia.
Buah impor
Buah yang didatangkan dari luar negeri, seringkali diangkut menggunakan pesawat atau kapal. Bahan bakar kedua moda transportasi itu tentu ikut meningkatkan jejak karbon di bumi.
Pada kesimpulannya, pola makan sehat, yang juga baik bagi planet adalah pola makan yang fleksibel. Sebagian besar berbasis tanaman, seperti buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan produk lokal, dengan jumlah daging, ikan, dan susu yang harus dikurangi lebih dari 50%.
Pasalnya tak semua orang bisa meninggalkan konsumsi daging, susu, dan telur. Perlu diperhatikan juga agar makanan apapun di dalam piring kita harus habis, karena sampah makanan, nabati maupun hewani juga menyumbang emisi gas rumah kaca.