Mitos “Belum Makan Kalau Belum Makan Nasi”: Warisan Propaganda yang Tak Lagi Relevan

Bertahun-tahun kita tumbuh dengan kalimat yang sama: belum makan kalau belum makan nasi. Namun sedikit yang tahu bahwa keyakinan ini dibentuk, dipupuk, bahkan dijadikan propaganda pada masa Orde Baru, sebuah era ketika Indonesia ingin meneguhkan diri sebagai raksasa penghasil beras.

Padahal jauh sebelum itu, negeri ini hidup dari pangan yang jauh lebih beragam: singkong, jagung, sagu, sorgum, hingga umbi-umbian yang memenuhi dapur Nusantara. Ironisnya, keberagaman itu perlahan terhapus dan digeser oleh satu narasi besar: nasi adalah “makanan utama”, sementara yang lain ditempatkan sebagai makanan orang miskin.

Kini, dengan semakin kuatnya kesadaran akan kesehatan dan nutrisi, saatnya memulihkan kembali fakta yang lebih jujur: tubuh kita tidak pernah diwajibkan oleh biologi untuk makan nasi. Yang mewajibkan hanyalah propaganda yang diwariskan dan kemudian membentuk budaya yang sesat berpikir.

Sponsored Links

Propaganda Beras Menciptakan Kebiasaan Baru

Pada masa pembangunan, pemerintah mendorong swasembada beras dengan massif. Beras dianggap simbol kemajuan, stabilitas, dan keberhasilan ekonomi. Kampanye besar-besaran dilakukan: mulai dari iklan layanan masyarakat, penyuluhan pangan, hingga brainwash yang disisipkan di kurikulum sekolah.

Indonesia justru kaya akan pangan pokok, tidak cuma nasi. (Foto: Pexels)

Pangan lokal perlahan diposisikan sebagai kelas dua. Jagung, singkong, dan sagu disebut sebagai makanan “kampung” atau “miskin,” bahkan nutrisinya dibilang rendah, tak bergizi dan tak layak jadi pangan utama. Ini diperparah dengan narasi modernisasi yang menempatkan beras sebagai bintang utama. Persepsi tersebut menempel kuat hingga kini, terbawa ke meja makan sampai generasi setelahnya.

Nasi memang memberi karbohidrat cepat, tetapi indeks glikemiknya tinggi, yang berarti gula darah lebih cepat naik. Untuk tubuh yang semakin banyak duduk, bekerja di depan laptop, atau minim aktivitas fisik, konsumsi nasi putih yang berlebihan bisa berisiko memicu obesitas, resistensi insulin, dan masalah metabolik lain.

Sebaliknya, banyak pangan lokal justru lebih ramah kesehatan:

1. Singkong

  • Indeks glikemik lebih rendah dibanding nasi putih
  • Tinggi serat → kenyang lebih lama
  • Mengandung vitamin C, folat, dan antioksidan natural

2. Jagung

  • Kaya lutein & zeaxanthin, baik untuk kesehatan mata
  • Serat tinggi → mendukung pencernaan
  • Stabil menahan gula darah

3. Sagu

  • Bebas gluten
  • Cocok untuk diet rendah alergi
  • Karbohidrat kompleks yang mudah dicerna

4. Sorgum

  • Kaya protein nabati
  • Serat tinggi
  • Mengandung mineral penting seperti magnesium dan zat besi

Semua bahan ini bukan hanya menyehatkan, tetapi dulu menjadi fondasi ketahanan pangan Nusantara, sampai sebuah narasi besar menggeser posisi mereka.

Makanan Lokal = Makanan Miskin? Sebuah Label yang Perlu Dihapus

Stigma ini lahir dari pembangunan ekonomi, bukan dari logika nutrisi. Di banyak negara maju, konsumsi pangan lokal justru dianggap conscious living, pilihan sadar yang mendukung kesehatan dan keberlanjutan.

Ironisnya, di negeri sumbernya sendiri, makanan-makanan ini justru diremehkan, padahal:

  • Kandungan nutrisinya lebih seimbang
  • Jejak karbonnya lebih rendah
  • Mudah ditanam di berbagai musim
  • Tidak bergantung pada impor

Label “miskin” membuat masyarakat enggan memilih yang sebenarnya baik bagi tubuh mereka. Kini, ketika isu kesehatan dan keberlanjutan menjadi perhatian utama, stigma itu semakin terlihat tidak masuk akal.

Salah satu pergeseran penting gaya hidup saat ini adalah munculnya kesadaran bahwa makanan bukan hanya soal kenyang, tetapi soal mindfulness apa yang kita makan, bagaimana tubuh kita merespons, dan bagaimana pilihan itu berdampak pada lingkungan.

Mengurangi konsumsi nasi bukan berarti tidak nasionalis atau tidak “kenyang beneran.” Tapi justru:

  • Tubuh lebih stabil energinya
  • Gula darah lebih terkontrol
  • Pencernaan lebih terjaga
  • Pola makan lebih bervariasi dan penuh nutrisi

Pilihannya sederhana: bukan meninggalkan nasi sepenuhnya, tetapi membuka ruang bagi sumber karbohidrat lain yang selama ini diremehkan.

Narasi Orde Baru membentuk kebiasaan makan kita selama puluhan tahun. Namun, dengan pengetahuan nutrisi modern, kita bisa melihat bahwa keberagaman pangan lokal bukan hanya warisan budaya, melainkan kunci kesehatan masa depan.

Makan nasi boleh saja, tetapi menganggap nasi sebagai satu-satunya sumber kenyang adalah mitos yang tidak lagi relevan. Mungkin inilah saatnya kembali ke meja makan yang lebih kaya, lebih sehat, dan lebih Indonesia.